![]() |
| E-commerce RI tumbuh pesat hingga US$75 miliar, tapi konsumen makin selektif. Fenomena Rojali menunjukkan belanja ditunda meski trafik melonjak. (Ilustrasi: Apluswire/Rbs) |
FENOMENA Rojali—akronim dari Rombongan Jarang Beli bukan lagi istilah gaul semata. Ia telah menjadi representasi nyata dari perilaku konsumen Indonesia yang semakin selektif dalam berbelanja. Dari pusat perbelanjaan fisik hingga aplikasi e-commerce, tren ini kian terasa lalu lintas pengunjung tinggi, transaksi minim.
Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, tak menampik realitas ini. “Tren ‘trafik tinggi tapi belanja tidak langsung’ di e-commerce juga nyata,” ujarnya.
Banyak pengguna hanya menelusuri, membandingkan harga, lalu menunggu promo sebelum akhirnya memutuskan membeli jika tidak berubah pikiran lebih dulu.
Padahal, secara makro, industri e-commerce Indonesia sedang dalam fase pertumbuhan agresif. Nilai transaksi digital pada 2024 menembus US$75 miliar, dengan sektor ritel menyumbang mayoritas, yaitu US$46 miliar atau 61%.
Bahkan, angka pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) diproyeksi mencapai 19% hingga 2029. Tapi geliat angka ini berseberangan dengan pola konsumsi yang mulai menahan diri.
Daya beli menurun, bukan minat belanja
Fenomena Rojali bukan lahir dari kejenuhan berbelanja, tapi dari krisis struktural ekonomi rumah tangga. Kenaikan harga kebutuhan pokok membuat konsumen berpikir dua kali untuk checkout.
Per Juni 2025, harga makanan naik 1,99% secara tahunan. Di sisi lain, upah riil stagnan, sementara biaya hidup termasuk listrik, pendidikan, dan kesehatan terus menanjak.
Contohnya, biaya sekolah dasar melonjak rata-rata 12,6% per tahun sejak 2018, sementara gaji orang tua hanya naik 2,6% dalam periode yang sama.
Konsumen pun bergeser ke mode bertahan. Alih-alih belanja impulsif, mereka menunda keputusan, memprioritaskan kebutuhan pokok, dan mengalihkan dana ke instrumen aman seperti emas digital atau deposito.
Bahkan kelas menengah atas pun mulai mengurangi konsumsi barang mewah dan memperbanyak investasi.
Bagi pelaku usaha, terutama UMKM dan ritel tradisional, ini bukan kabar baik. Meski pengunjung tetap ramai, konversi penjualan rendah.
Konsumen datang, melihat-lihat, lalu pulang dengan tangan kosong atau malah membeli online dengan harga lebih murah. Akibatnya, omzet harian anjlok, sementara biaya operasional seperti sewa dan gaji tetap berjalan.
Belanja digital tumbuh, tapi tak berarti tanpa hambatan
Meski perilaku konsumen berubah, e-commerce tak kehilangan daya saing. Pendorong pertumbuhan masih kuat —festival belanja seperti Harbolnas, penetrasi dompet digital, peningkatan layanan, dan adopsi smartphone.
Dari total transaksi 2024, sebanyak 67% atau sekitar US$50,25 miliar terjadi via ponsel. Kini, 9 dari 10 konsumen online di Indonesia menggunakan smartphone sebagai kanal utama.
Frekuensi belanja pun menunjukkan potensi besar. Sebanyak 38% pengguna e-commerce berbelanja setidaknya sebulan sekali, bahkan 21% melakukannya dua kali seminggu.
Kategori dengan volume transaksi tertinggi tahun lalu adalah mode dan aksesori (16,3%), disusul produk kesehatan dan kecantikan (14,3%), peralatan rumah tangga (10%), makanan (6,9%), dan gadget (6,4%).
Namun besarnya volume tidak selalu setara dengan keuntungan. Konsumen yang kian cermat membuat platform harus terus bersaing dalam harga, promo, dan layanan. Strategi potong harga dan gratis ongkir memang mendongkrak trafik, tapi menekan margin.
Industri tetap adaptif, teknologi jadi tumpuan
E-commerce Indonesia menjawab tantangan ini dengan inovasi. Sistem personalisasi berbasis kecerdasan buatan (AI) mulai banyak diterapkan untuk meningkatkan konversi.
Misalnya, pada kategori kecantikan, rekomendasi berbasis profil pengguna bisa meningkatkan tingkat pembelian hingga 15%. Layanan pengiriman same-day pun mulai menjadi standar, terutama di kota besar.
Metode pembayaran ikut bertransformasi. Dompet digital seperti GoPay dan OVO kini menjadi pilihan utama. Opsi cicilan tanpa kartu kredit juga makin digemari, terutama oleh generasi muda yang mendominasi demografi pengguna e-commerce.
Generasi Z dan milenial, yang membentuk 56% populasi Indonesia, lebih nyaman belanja lewat ponsel sambil nongkrong di mal. Belanja bukan semata transaksi, tapi bagian dari gaya hidup dan pengalaman sosial.
Fenomena micro-influencer juga mempercepat arus belanja. Influencer dengan pengikut 1.000–5.000 orang dinilai lebih efektif dari selebgram besar, karena engagement mereka dua kali lebih tinggi.
Tak kalah penting, 62% konsumen muda bersedia membayar lebih untuk produk ramah lingkungan, membuat tren sustainable commerce kian relevan.
Konsumsi rumah tangga masih seret, ancaman jangka panjang
Di tengah semua dinamika itu, data makro mencerminkan tantangan besar di sektor konsumsi. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia hanya menyentuh 4,8% pada kuartal pertama 2025, turun dari level pra-pandemi yang berkisar 5,2–5,4%. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 52% dari total PDB nasional.
Indeks penjualan ritel juga melemah, terutama pada sektor pakaian, elektronik, dan peralatan rumah tangga—kategori yang dulu menjadi andalan pertumbuhan belanja masyarakat urban.
Ekonom Syafruddin Karimi dari Universitas Andalas menyebut fenomena Rojali sebagai cermin dari ekonomi yang tengah menggelap. “Ini bukan sekadar perubahan perilaku, tapi tanda-tanda perlambatan konsumsi akibat tekanan struktural yang serius,” katanya.
Sementara Prof. Mohammad Nur Rianto Al Arif dari UIN Jakarta menilai, “Rojali adalah ekspresi sosial dari daya beli yang melemah. Masyarakat sedang dalam mode bertahan, bukan berkembang.”
Mendorong konsumsi perlu solusi konkret
Untuk memulihkan daya beli, dibutuhkan kebijakan yang lebih dari sekadar stimulus temporer. Pemerintah perlu menstabilkan harga pangan secara proaktif, bukan hanya saat gejolak terjadi. Reformasi upah, terutama yang berbasis kebutuhan hidup layak, menjadi krusial agar pendapatan masyarakat tidak tertinggal dari inflasi.
Bagi pelaku UMKM, akses ke kredit lunak jangka panjang dengan BUMN sebagai off-taker bisa membuka ruang produksi yang lebih stabil. Sementara di desa, proyek padat karya bisa membantu meningkatkan pendapatan masyarakat kelas bawah tanpa harus menunggu efek trickle down dari kota.
E-commerce Indonesia boleh tumbuh, tapi tanpa perbaikan struktural di sektor konsumsi, pertumbuhannya akan terus dibayangi oleh fenomena Rojali bising di depan, tapi sepi di kasir.

0Komentar