![]() |
| Garuda Indonesia (GIAA) mulai mencari investor eksternal untuk mendanai rencana pembelian 50 pesawat Boeing, sementara kas perusahaan hanya Rp494 miliar. (Avgeek) |
Garuda (GIAA) kembali menjadi sorotan usai mengumumkan rencana besar yaitu membeli 50 pesawat Boeing sebagai bagian dari transformasi jangka panjang. Nilai proyek ini diperkirakan mencapai lebih dari US$5 miliar, namun di tengah keterbatasan kas perusahaan yang per September 2024 hanya tersisa Rp494 miliar atau sekitar US$31 juta, banyak pihak mempertanyakan: seberapa realistis rencana jumbo ini?
Langkah pembelian ini masuk dalam skema restrukturisasi keuangan yang disetujui langsung oleh Presiden RI pada 23 Juni 2025 dan dikunci lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 30 Juni 2025.
Garuda mengklaim sedang menjajaki sejumlah sumber pendanaan, termasuk dari investor eksternal dan dukungan dari sovereign wealth fund Indonesia, Danantara.
“Pembelian pesawat ini merupakan langkah strategis dalam rangka penyehatan keuangan dan transformasi bisnis Garuda. Pendanaannya akan dilakukan secara paralel melalui skema yang telah mendapat persetujuan dari Presiden RI dan RUPSLB, termasuk penjajakan dengan calon investor eksternal,” kata manajemen Garuda Indonesia dalam keterangannya ke Bursa Efek Indonesia (BEI).
Garuda menyebut bahwa saat ini mereka masih melakukan komunikasi intensif dengan Boeing untuk membahas spesifikasi pesawat yang sesuai dengan pangsa pasar mereka, termasuk jadwal pengiriman yang realistis.
Perusahaan juga menekankan bahwa kelanjutan proyek ini sangat bergantung pada kesiapan Boeing untuk menyediakan tipe pesawat yang dibutuhkan.
Menurut sumber internal, armada yang sedang dibahas mencakup kombinasi narrow-body dan wide-body, termasuk Boeing 737 MAX 8 dan 787-9 Dreamliner.
Namun, hingga kini belum ada kontrak atau MoU resmi yang diteken. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 22 Juli 2025 menegaskan bahwa negosiasi masih berlangsung dan belum mengikat secara hukum.
Meskipun belum final, proyek ini tidak bisa dilepaskan dari konteks hubungan dagang Indonesia-AS. Dalam kesepakatan bilateral terbaru, Indonesia mendapat potongan tarif ekspor ke AS dari 32% menjadi 19%, dengan imbalan komitmen pembelian produk energi dan pertanian AS senilai US$19,5 miliar serta 50 unit pesawat Boeing senilai miliaran dolar.
Di atas kertas, ini terlihat seperti win-win. Namun bagi sebagian analis, langkah ini menyimpan banyak tanda tanya. Yohanes Sulaiman, pengamat ekonomi dan pertahanan, menyebut Garuda belum berada dalam posisi finansial yang cukup kuat untuk melaksanakan pembelian langsung sebesar ini.
“Garuda tidak memiliki kapasitas keuangan untuk pembelian sebesar itu tanpa dukungan negara. Kalau tidak disokong, ini mustahil,” ujarnya.
Faktanya, Garuda membukukan rugi bersih US$75,9 juta pada kuartal I/2025. Meski mengalami pemulihan operasional pasca restrukturisasi 2022, perusahaan masih dibayangi oleh utang jumbo dan beban operasional tinggi.
Usia armada Garuda saat ini rata-rata 13 tahun, cukup tua untuk standar industri, namun biaya akuisisi armada baru jelas bukan perkara enteng.
Di sinilah Danantara masuk ke panggung. Sovereign wealth fund tersebut telah menyuntikkan dana awal sebesar Rp6,65 triliun (US$405 juta) dalam bentuk pinjaman pemegang saham.
Dana ini difokuskan untuk kebutuhan maintenance, repair, and overhaul (MRO), utamanya pada armada Citilink, anak usaha Garuda.
Total dukungan Danantara bisa mencapai US$1 miliar atau sekitar Rp16,37 triliun angka yang secara teoritis bisa mengungkit sebagian pendanaan pembelian pesawat.
Selain dana segar, Danantara juga berkomitmen memberikan pendampingan berbasis tata kelola dan restrukturisasi kinerja perusahaan. Dukungan ini ditujukan untuk memperkuat landasan bisnis Garuda dalam jangka panjang, tak hanya dari sisi pendanaan, tapi juga dari sisi manajemen risiko dan transparansi operasional.
Tetapi, bila dihitung kasar, harga satu unit Boeing 737 MAX 8 saja berkisar US$100 juta, sehingga 50 unit bisa menembus angka US$5 miliar. Itu belum termasuk biaya pelatihan kru, suku cadang, hingga pengembangan rute baru.
Dengan kata lain, dana dari Danantara belum cukup menutup total kebutuhan proyek ini. Sejumlah opsi seperti pembiayaan eksternal, joint venture, hingga skema leasing atau sale-and-leaseback sedang dijajaki, meskipun belum diumumkan secara terbuka.
Sementara itu, dari sisi industri penerbangan global, waktu juga menjadi faktor penentu. Boeing tengah menghadapi backlog produksi yang mengular.
Beberapa model seperti 777X bahkan baru akan dikirimkan ke klien lama pada 2026 ke atas. Artinya, meski deal diteken tahun ini, realisasi pengiriman bisa memakan waktu bertahun-tahun. Ini membuat sejumlah pengamat mempertanyakan urgensi pembelian langsung dibanding opsi sewa jangka menengah.
Namun, bagi pemerintah dan Presiden Prabowo Subianto, pembelian ini lebih dari sekadar bisnis. “Garuda adalah kebanggaan kita. Kita butuh pesawat baru. Boeing bagus, dan kita tetap gunakan Airbus. Ini kepentingan bersama,” ujar Prabowo dalam kunjungannya ke Seattle, AS, awal Juli lalu.
Pernyataan itu menggarisbawahi posisi Garuda bukan sekadar BUMN, tapi simbol kedaulatan udara Indonesia. Pemerintah ingin menjadikan transformasi Garuda sebagai showcase keberhasilan ekonomi pasca-pandemi dan perjanjian dagang strategis.
Targetnya, pada 2029 Garuda memiliki 120 pesawat dan membuka 100 rute baru ambisi besar yang membutuhkan keberanian finansial dan manuver diplomasi kelas tinggi.
Meski begitu, risiko tetap mengintai. Komitmen pembelian dalam skema dagang dengan negara besar seperti AS bisa menjadi beban fiskal, terlebih di tengah komitmen energi terbarukan dan pengurangan impor bahan bakar fosil. Belum lagi, efek jangka pendek terhadap neraca pembayaran, nilai tukar, dan beban utang luar negeri.
Untuk saat ini, Garuda menegaskan bahwa tidak ada informasi material lain yang mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan atau harga sahamnya. Namun, pasar tetap waspada.
Para investor tahu bahwa rencana sebesar ini apalagi di tengah kondisi keuangan yang masih rapuh tidak bisa hanya dibungkus jargon transformasi. Perlu hitung-hitungan matang, dukungan konkret, dan transparansi yang konsisten.

0Komentar