![]() |
| China membangun barak asmara sebagai respons terhadap krisis seks dan ketimpangan gender akibat kebijakan satu anak. (WANG Zao/AFP) |
Pemerintah China menghadapi dilema demografis yang kian genting. populasi menyusut, angka kelahiran anjlok, dan jutaan pria tak kunjung menikah. Untuk mengatasi ketimpangan gender dan krisis seks yang membayangi, muncul fenomena unik yaitu barak asmara.
Fasilitas ini menjadi ruang pelatihan sosial bagi pria lajang dari kelas bawah terutama migran pedesaan yang tertinggal dalam pasar percintaan modern.
Berdasarkan data resmi, populasi China menyusut dua juta jiwa pada 2024, dan angka kelahiran stagnan di 1,01 anak per perempuan, jauh di bawah tingkat penggantian 2,1.
Salah satu penyebabnya: pernikahan yang menurun drastis. Sejak 2013, angka pernikahan turun 56 persen. Dibandingkan tahun lalu saja, penurunannya mencapai lebih dari 20 persen.
Karena mayoritas kelahiran di China masih terjadi dalam institusi pernikahan, tren ini memicu kekhawatiran berantai.
Lebih dari sekadar tidak menikah, jutaan pria kini menghadapi kesulitan menjalin relasi intim. Ketimpangan gender yang dihasilkan oleh kebijakan satu anak selama 35 tahun memperparah kondisi.
Akibat aborsi selektif dan preferensi budaya terhadap anak laki-laki, saat ini terdapat sekitar 30 hingga 32 juta pria lebih banyak dibanding jumlah perempuan. Pemerintah menyebut mereka sebagai sheng nan, atau pria sisa populasi yang tumbuh namun tak terserap dalam sistem pernikahan.
Di sinilah barak asmara berperan. Seperti digambarkan dalam film dokumenter The Dating Game karya Violet Du Feng, tempat ini melatih pria untuk meningkatkan keterampilan sosial, daya tarik fisik, dan kemampuan komunikasi.
Mereka menjalani transformasi penampilan dari potongan rambut, gaya berpakaian, hingga persona media sosial serta belajar strategi mendekati perempuan.
Hao, salah satu pelatih kencan yang dikenal luas di kalangan komunitas ini, mengklaim telah melatih lebih dari 3.000 pria. “Seiring meningkatnya pendidikan dan kesuksesan profesional perempuan, standar dalam memilih pasangan juga meningkat. Banyak pria merasa tidak mampu bersaing, terutama mereka yang berasal dari desa dan baru pindah ke kota,” ujar Hao.
Menurutnya, sekitar 500 dari peserta pelatihannya berhasil menikah setelah menyelesaikan program.
Namun efektivitas pendekatan ini masih dipertanyakan. Secara statistik, keberhasilannya masih terbatas. Dan secara struktural, solusi ini tidak menyentuh akar persoalan.
Banyak analis menilai bahwa krisis seks di China bukan hanya soal keterampilan atau penampilan, melainkan berlapis: tekanan ekonomi, transformasi peran gender, dan norma sosial yang tidak adaptif.
Budaya kerja “996” bekerja dari pukul 9 pagi hingga 9 malam selama enam hari seminggu membuat pria muda sulit menjalin hubungan. Stagnasi upah dan harga perumahan yang tinggi mempersempit ruang finansial untuk membangun rumah tangga.
Di sisi lain, perempuan kini lebih berpendidikan daripada pria di perguruan tinggi, lebih mandiri secara ekonomi, dan makin kritis terhadap struktur pernikahan tradisional yang menuntut mereka mengurus rumah dan karier sekaligus.
Kebijakan pronatalis yang diluncurkan pemerintah juga belum efektif. Subsidi in vitro fertilization (IVF) dan epidural gratis belum berdampak signifikan pada peningkatan angka kelahiran.
Larangan terhadap pembekuan sel telur bagi perempuan lajang, sementara pria tidak menghadapi batasan serupa, menambah kritik bahwa kebijakan negara masih bias gender.
Wang Feng, profesor sosiologi dari University of California Irvine, mengatakan, “Kebijakan fertilitas China mengabaikan hambatan struktural seperti norma patriarkal dan ketidakamanan ekonomi.” Nandita Bajaj dari lembaga Population Balance menambahkan, “Setelah perempuan memperoleh otonomi reproduktif, mereka tidak bisa dipaksa kembali ke peran tradisional demi agenda nasionalistik.”
Ketimpangan ini juga berdampak pada ekonomi global. Dengan menurunnya jumlah penduduk, permintaan domestik terutama bahan pangan juga turun, memengaruhi negara pengekspor seperti Brasil.
Defisit tenaga kerja membuat biaya manufaktur naik, dan ini berpotensi menekan imbal hasil serta meningkatkan risiko inflasi global.

0Komentar