Dokter penyakit dalam di Indonesia menyebut fruktosa lebih aman dibanding gula tebu, di tengah desakan Donald Trump agar Coca-Cola memakai gula tebu asli di AS. (REUTERS)

Pernyataan mengejutkan datang dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Melalui platform Truth Social, Trump mengklaim bahwa Coca-Cola bakal beralih menggunakan "gula tebu asli" untuk produk-produk mereka yang dijual di dalam negeri. Langkah ini disebut sebagai bagian dari misinya untuk “membuat Amerika lebih sehat”.

Namun di tengah hiruk-pikuk klaim politik tersebut, suara berbeda justru datang dari dunia medis Indonesia. Dokter spesialis penyakit dalam dari RS Hermina Depok, Aru Ariadno, menilai bahwa penggunaan fruktosa, seperti yang dipakai Coca-Cola saat ini melalui sirup jagung fruktosa tinggi (HFCS), lebih aman dibandingkan gula tebu.

Di Amerika Serikat, mayoritas produk Coca-Cola mengandung high-fructose corn syrup (HFCS), pemanis buatan dari jagung yang punya keunggulan harga dan daya simpan. Selain lebih murah dari gula tebu, HFCS juga lebih stabil dalam berbagai kondisi penyimpanan.

Namun, banyak konsumen di AS menyebut bahwa rasa Coca-Cola versi Meksiko yang memakai gula tebu lebih otentik dan "lebih enak". Tak heran, Coca-Cola Meksiko menjadi produk impor premium yang cukup populer di kalangan pecinta soda di AS.

Kendati demikian, menurut Dr. Aru, asumsi bahwa gula tebu lebih sehat justru bisa menyesatkan.

“Sebenarnya bukan lebih sehat, yang lebih aman tuh fruktosa. Karena fruktosa diolah tubuh lewat proses yang lebih panjang sebelum jadi gula,” jelasnya.


Dua-duanya Manis, Dua-duanya Bermasalah

Meski fruktosa disebut “lebih aman”, bukan berarti pemanis ini bebas risiko. Baik fruktosa dari HFCS maupun sukrosa dalam gula tebu memiliki kadar kalori tinggi dan dapat memicu gangguan metabolik, terutama jika dikonsumsi berlebihan.

“Kalau dikonsumsi terus-menerus, dua-duanya bisa menyebabkan naiknya gula darah, fatty liver, hingga gangguan metabolik lainnya,” kata Aru. 

Ia menekankan bahwa fruktosa memang lebih manis, sehingga pabrik bisa memakai lebih sedikit untuk menghasilkan rasa manis yang sama, tapi tetap berpotensi merusak tubuh.

Menurut studi-studi terbaru, HFCS memiliki rasio fruktosa yang lebih tinggi dibandingkan gula tebu. Gula tebu (sukrosa) terdiri dari 50% glukosa dan 50% fruktosa, sementara HFCS bisa mengandung hingga 55% fruktosa dan 45% glukosa. Fruktosa yang tinggi ini berkaitan erat dengan peningkatan risiko obesitas dan resistensi insulin.


Narasi Sehat atau Lobi Politik?

Langkah Trump mempromosikan penggunaan “gula tebu asli” bukannya tanpa motif politik. Selain ingin memperlihatkan kepeduliannya terhadap isu kesehatan publik, tekanan untuk kembali ke gula tebu juga bisa dibaca sebagai bagian dari strategi proteksi industri domestik, khususnya industri tebu di AS dan Amerika Latin.

Namun, transisi dari HFCS ke gula tebu bukan perkara ringan. Menurut analis industri pangan, perubahan ini bisa menyebabkan kenaikan biaya produksi lebih dari US$1 miliar, seiring terganggunya rantai pasok dan keterbatasan produksi tebu domestik. Apalagi, AS saat ini hanya mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan gulanya sendiri, sisanya tergantung impor.

Situasi kian pelik setelah Trump menerapkan tarif 50% untuk impor gula dari Brasil, salah satu produsen gula terbesar dunia. Langkah ini justru bisa membuat harga gula tebu makin mahal, menyulitkan Coca-Cola jika benar-benar beralih dari HFCS.


Kesehatan atau Selera? 

Banyak masyarakat Amerika menganggap Coca-Cola versi Meksiko yang memakai gula tebu punya rasa lebih "klasik", bahkan ada yang menyebutnya lebih "segar" dan "murni". Namun dari sisi medis, klaim ini lebih condong ke persepsi dibanding bukti ilmiah.

Sebuah meta-analisis tahun 2022 yang diterbitkan oleh The American Journal of Clinical Nutrition menyatakan tidak ada perbedaan signifikan antara efek gula tebu dan HFCS terhadap kesehatan, kecuali sedikit peningkatan penanda inflamasi pada konsumen HFCS. Namun, jumlah kalori dan frekuensi konsumsi tetap menjadi faktor utama risiko penyakit.

“Yang berbahaya itu bukan cuma jenis gulanya, tapi juga kebiasaan konsumsi. Karena tubuh kita memang tidak dirancang untuk menerima gula dalam jumlah besar setiap hari,” ujar Aru.


Siapa yang Terdampak Jika Berubah Total?

Jika Coca-Cola benar-benar mengganti pemanisnya ke gula tebu secara nasional, dampaknya akan sangat luas. Industri pengolahan jagung, yang selama ini menyuplai HFCS, diperkirakan kehilangan sekitar 55% pasarnya, yang saat ini didominasi oleh industri minuman ringan.

Corn Refiners Association memperkirakan akan ada kerugian hingga US$5,1 miliar serta ancaman PHK massal di sektor pertanian dan manufaktur terkait.

Di sisi lain, konsumen pun bisa terkena imbas harga. Kenaikan biaya produksi kemungkinan akan diteruskan ke harga jual. Sebagai gambaran, harga Coca-Cola Meksiko saat ini bisa 20–30% lebih mahal dibanding versi Amerika.


Lebih Aman Bukan Berarti Lebih Sehat

Pernyataan dokter Indonesia soal fruktosa “lebih aman” perlu dipahami dalam konteks proses metabolisme, bukan sebagai klaim bahwa HFCS lebih baik. 

Kenyataannya, baik fruktosa maupun gula tebu sama-sama tidak direkomendasikan dikonsumsi berlebihan, apalagi dalam bentuk minuman kemasan yang tinggi kalori.

Narasi “pemanis alami” atau “gula tebu asli” yang dijual dalam politik dan pemasaran belum tentu sejalan dengan kepentingan kesehatan publik. Sementara publik terus terpecah soal rasa dan persepsi, para ahli tetap sepakat pada satu hal: kurangi konsumsi gula, apapun bentuknya.

“Jangan terkecoh dengan istilah ‘alami’ atau ‘asli’. Yang penting adalah batas aman dan seberapa sering kita mengonsumsi,” tutup Aru.