Gencatan senjata akhirnya disepakati antara Israel dan Suriah pada Sabtu, 19 Juli 2025, setelah hampir sepekan ketegangan meningkat di wilayah selatan Suriah. Keputusan ini diumumkan usai Amerika Serikat turun langsung menjadi penengah, didukung oleh Turki dan Yordania yang sejak awal mendorong penyelesaian damai.
Pemerintah Israel menyatakan setuju memberi akses terbatas kepada pasukan Suriah untuk memasuki wilayah Sweida markas komunitas Druze selama dua hari.
Tujuannya untuk menghentikan bentrokan sengit antara milisi Druze dan kelompok bersenjata Badui yang telah menewaskan ratusan orang. Data dari pemantau hak asasi manusia menyebut, setidaknya 321 orang tewas dalam konflik yang terjadi sepanjang dua pekan terakhir, banyak di antaranya warga sipil.
Pasukan Suriah dilaporkan telah mulai bergerak ke Sweida dengan mandat terbatas, hanya untuk memastikan situasi kondusif dan mencegah bentrokan susulan.
Dalam pernyataan resminya pada Jumat malam, kantor kepresidenan Suriah mengatakan bahwa pengerahan pasukan itu merupakan bagian dari “upaya politik dan keamanan untuk mengakhiri konflik serta memulihkan stabilitas di selatan.”
Namun eskalasi tak berhenti di situ. Sebelum kesepakatan gencatan senjata dicapai, Israel melancarkan beberapa serangan udara ke posisi militer Suriah, termasuk kawasan dekat Damaskus.
Targetnya bukan hanya markas tentara, tapi juga lokasi-lokasi yang diduga digunakan milisi pro-pemerintah.
Alasan resmi dari Tel Aviv: melindungi komunitas Druze yang mereka sebut sebagai "kelompok minoritas penting" dan "sekutu sejarah" Israel di kawasan.
Seorang pejabat Israel yang enggan disebutkan namanya mengatakan kepada media, “Israel setuju untuk mengizinkan pasukan Suriah mengakses wilayah Sweida di Suriah selatan secara terbatas selama dua hari ke depan.”
Langkah ini, meski terkesan simbolis, menandai titik balik penting dalam penanganan konflik di kawasan yang selama ini luput dari sorotan dunia.
Amerika Serikat mengambil peran sentral dalam perundingan. Duta Besar AS untuk Turki, Tom Barrack, bahkan langsung mengumumkan kesepakatan melalui akun X miliknya.
Dalam pernyataannya, ia menyerukan kepada seluruh kelompok bersenjata baik Druze, Badui, maupun Sunni untuk meletakkan senjata dan “membangun identitas Suriah yang baru dan bersatu.”
Pesan ini menegaskan arah baru diplomasi Washington di Timur Tengah untuk menjembatani rekonsiliasi domestik sambil tetap membendung pengaruh Iran dan kelompok ekstremis.
Bentrokan di Sweida tak bisa dilepaskan dari kompleksitas sosial Suriah pasca-jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada 2024. Kekosongan kekuasaan, melemahnya milisi-milisi pro-Iran, dan tarik-menarik kepentingan etnis telah menciptakan ruang kosong yang mudah disulut konflik.
Komunitas Druze, yang selama ini dikenal menjaga jarak dari pusat kekuasaan Damaskus maupun Tel Aviv, justru kini terjebak di tengah pertarungan geopolitik dan identitas nasional yang rapuh.
Israel, yang selama ini hanya melakukan operasi terbatas di perbatasan, kini terlibat lebih langsung dengan dalih perlindungan minoritas.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa “setiap pelanggaran kesepakatan oleh pasukan Suriah akan dijawab dengan pukulan menyakitkan.” Nada ancaman itu menunjukkan bahwa meski gencatan senjata disepakati, tensi belum sepenuhnya turun.
Situasi ini juga menjadi panggung baru bagi strategi AS di Timur Tengah. Sejak Assad jatuh dan Iran kehilangan sebagian besar pengaruh militernya di Suriah, Washington berupaya memanfaatkan celah untuk membangun peta kekuatan baru.
Gencatan senjata ini, bagi Gedung Putih, bukan sekadar langkah kemanusiaan, tapi bagian dari desain besar mengembalikan stabilitas regional dengan meminimalkan campur tangan Tehran dan mencegah kebangkitan ISIS di wilayah selatan.
Sementara itu, kondisi di lapangan masih jauh dari aman. Organisasi kemanusiaan internasional melaporkan ribuan warga sipil mengungsi ke luar Sweida, banyak dari mereka kehilangan tempat tinggal. Beberapa laporan bahkan menyebut terjadinya eksekusi di lapangan, meski belum bisa dipastikan siapa pelakunya.
Dalam konteks regional yang lebih luas, sinyal normalisasi sempat muncul beberapa bulan lalu lewat pertemuan informal antara perwakilan Israel dan Suriah di Abu Dhabi.
Salah satu topik yang dibahas saat itu adalah kemungkinan penarikan bertahap Israel dari Dataran Tinggi Golan, termasuk sebagian wilayah Gunung Hermon.
Namun, konflik terbaru ini jelas menunda skenario tersebut dan mengungkapkan betapa rapuhnya proses perdamaian di kawasan.
Dengan waktu dua hari yang diberikan kepada militer Suriah, semua pihak kini berpacu dengan waktu. Jika tidak ada kemajuan signifikan dalam penanganan keamanan dan rekonsiliasi lokal, gencatan senjata ini bisa sewaktu-waktu runtuh.
0Komentar