Di balik kecanggihan AI, ada krisis tak terlihat: miliaran liter air digunakan untuk mendinginkan server, mengancam akses air bersih bagi manusia. (Google)

Ketika kecerdasan buatan menjadi motor utama kemajuan digital, air sumber daya paling esensial manusia perlahan menjadi korban tak terlihat dari revolusi teknologi ini. Pada tahun 2027, algoritma dan server yang menopang teknologi kecerdasan buatan (AI) diperkirakan akan mengonsumsi antara 4,2 hingga 6,6 miliar meter kubik air. 

Angka ini nyaris setara dengan seluruh konsumsi air bersih negara Denmark dalam setahun. Air sebesar itu tak digunakan untuk minum, irigasi, atau sanitasi, melainkan untuk mendinginkan jutaan chip dan prosesor yang bekerja tanpa henti di pusat data raksasa.

Di saat dunia menghadapi krisis air global dengan dua dari tiga orang diperkirakan akan hidup di wilayah berisiko kekeringan ekstrem dalam dua dekade mendatang lonjakan kebutuhan air demi menyokong kecanggihan teknologi justru meningkat tajam. Dan kecerdasan buatan, yang menjadi simbol kemajuan abad ke-21, berada di pusat masalah ini.

“Selama ini perhatian publik hanya tertuju pada emisi karbon dari teknologi digital, padahal air yang dikonsumsi tidak kalah signifikan,” ujar Kate Crawford, peneliti AI dan lingkungan dari USC Annenberg. “Kita seolah lupa bahwa air adalah komponen tak tergantikan dalam semua sistem pendinginan teknologi tinggi.”


Pelatihan ChatGPT pun Butuh Ratusan Ribu Liter Air

Saat model seperti GPT-3 dilatih, proses itu membutuhkan energi dan pendinginan yang ekstrem. Menurut sebuah laporan dari University of California, pelatihan satu model besar AI seperti GPT-3 dapat menghabiskan lebih dari 700.000 liter air setara dengan konsumsi air minum seorang manusia selama lima tahun.

Tak hanya proses pelatihan, pemakaian AI dalam skala harian juga menyedot air. Setiap kali Anda melakukan satu sesi percakapan dengan ChatGPT, diperkirakan sekitar 500 ml air digunakan untuk mendinginkan sistem yang memproses permintaan Anda. Bandingkan dengan pencarian biasa di Google yang hanya memerlukan 0,1 ml air.

“Banyak orang tidak menyadari bahwa setiap klik dan pertanyaan yang mereka ajukan ke AI memiliki jejak air yang nyata,” kata Dr. Shaolei Ren, profesor teknik elektro dari UC Riverside. “Ini bukan hanya soal data, ini soal bagaimana infrastruktur digital kita beroperasi dan berapa banyak sumber daya yang dikorbankan.”


Pusat Data: Pabrik Digital yang Haus Air

Pusat data adalah jantung fisik dari AI. Gedung-gedung besar berisi ribuan server ini bekerja 24 jam tanpa henti dan menghasilkan panas luar biasa yang harus ditekan agar perangkat tidak rusak Menggunakan air yang sangat banyak.

Sistem pendinginan konvensional yang digunakan saat ini memerlukan hingga 2 juta liter air per hari untuk pusat data berdaya 100 megawatt jumlah yang sama dengan kebutuhan air lebih dari 6.000 rumah tangga.

Yang lebih mengejutkan, 80% air yang digunakan untuk pendinginan tidak bisa dikembalikan. Ia menguap ke atmosfer, meninggalkan jejak yang tidak terlihat tetapi sangat nyata. 

Di tempat-tempat seperti Arizona dan Texas, di mana kekeringan adalah masalah struktural, penggunaan air untuk AI menimbulkan ketegangan sosial.

Google, misalnya, menggunakan 25% dari seluruh pasokan air kota The Dalles, Oregon, untuk mendinginkan pusat datanya. “Kami tidak pernah diberitahu seberapa banyak air yang digunakan,” kata seorang warga dalam wawancara dengan Bloomberg. “Lalu tiba-tiba kita berada dalam situasi kekurangan air, sementara server mereka tetap dingin.”


“Water Positive” atau Sekadar Janji Korporat?

Sebagai respons terhadap tekanan publik, raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft mengumumkan komitmen menjadi “water positive” pada 2030 mengembalikan lebih banyak air ke lingkungan daripada yang mereka ambil. Tapi realisasinya masih jauh dari ambisi.

Google, menurut laporan keberlanjutan 2023-nya, baru mengembalikan 18% dari total air yang dikonsumsinya. Sementara Microsoft justru mencatat kenaikan konsumsi air hingga 34% di tahun yang sama. Banyak pengamat menyebut inisiatif tersebut lebih sebagai strategi komunikasi daripada solusi nyata.

“Perusahaan teknologi besar pandai dalam membentuk narasi hijau,” kata Michael Wara, pakar kebijakan energi dari Stanford University. “Namun, hingga kini belum ada standar global yang tegas untuk mengukur efektivitas janji-janji itu.”

Ironisnya, dua pertiga pusat data baru justru dibangun di wilayah yang menghadapi stres air tinggi seperti California, Arizona, dan bahkan negara-negara berkembang seperti Chile dan India. Hal ini didorong oleh insentif ekonomi, pajak murah, dan ketersediaan lahan.

Di Chile, rencana pembangunan pusat data Google memicu demonstrasi warga karena dikhawatirkan akan mengurangi pasokan air minum. Di India, petani menolak pembangunan pusat data di dekat wilayah pertanian mereka yang sudah kekurangan air.

“AI tidak hanya menimbulkan tekanan terhadap sumber daya, tapi juga menciptakan ketimpangan baru,” kata Navin Kumar, analis kebijakan lingkungan dari New Delhi. “Kita melihat air bersih dikorbankan demi efisiensi teknologi yang mayoritas keuntungannya dinikmati negara-negara Global Utara.”


Solusi: Inovasi atau Relokasi?

Beberapa solusi mulai dikembangkan untuk mengurangi jejak air AI, meski masih terbatas pada proyek percontohan. Salah satu pendekatan adalah pendinginan cair langsung (direct-to-chip) yang menggunakan cairan non-air untuk mendinginkan prosesor. Ada pula eksperimen seperti data center bawah laut yang memanfaatkan suhu alami laut sebagai pendingin.

Di Korea Selatan, pusat data GAK Sejong memanfaatkan angin alami dalam sistem pendinginan hybrid yang lebih efisien. Di Norwegia, Meta membangun pusat data yang sepenuhnya menggunakan udara dingin lokal, tanpa AC.

Namun solusi ini belum menjangkau skala global. Kebanyakan pusat data masih bertumpu pada sistem evaporatif yang sangat boros air. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar terus mengincar lokasi di wilayah berkembang karena lebih murah dan regulasinya longgar.

“Relokasi pusat data ke wilayah dingin atau pesisir bisa menjadi solusi sementara,” kata Dr. Veena Srinivasan, peneliti air dan perubahan iklim dari India. “Tapi yang lebih dibutuhkan adalah regulasi yang memaksa perusahaan mempertimbangkan jejak air dalam desain dan operasional mereka.”

Hingga saat ini, belum ada standar global yang mengharuskan perusahaan melaporkan konsumsi air pusat data mereka. 

Uni Eropa, lewat AI Act 2025, menjadi yang pertama mewajibkan laporan konsumsi air dan energi untuk setiap implementasi AI skala besar. Di Amerika Serikat, Senator Edward Markey telah mengajukan RUU yang menyerukan audit lingkungan tahunan untuk pusat data.

Namun di banyak negara lain, termasuk Indonesia, kebijakan semacam ini masih belum ada. Ketika pusat data mulai tumbuh di kawasan Asia Tenggara, tantangan pengelolaan sumber daya air akan menjadi isu penting dalam perumusan kebijakan teknologi dan lingkungan ke depan.

AI adalah kemajuan teknologi yang luar biasa. Tapi dalam kehebohan akan kemampuannya menghasilkan teks, gambar, dan keputusan otomatis, kita lupa bahwa ia bergantung pada infrastruktur fisik yang sangat boros sumber daya.

Kemajuan tak bisa dibendung, tetapi harus diarahkan. Tanpa perencanaan yang matang dan regulasi yang tegas, kita akan menghadapi paradoks: di saat kita ingin mengotomatisasi masa depan, kita justru membahayakan kebutuhan paling mendasar manusia—air.

“AI seharusnya tidak mengorbankan hak hidup dasar manusia,” kata Kate Crawford. “Kemajuan digital hanya benar-benar bermakna jika berjalan seiring dengan keadilan ekologis.”