Suasana pasar tradisional Jakarta Timur pagi itu dipenuhi aktivitas. Ibu Sari (42) terlihat menimbang-nimbang karung beras yang akan dibelinya. Ia baru saja membeli beras yang diklaim premium seharga Rp15.000 per kilogram, namun kualitasnya menurut dia tak sebanding dengan harga.
“Saya beli beras yang katanya premium, tapi rasanya sama saja dengan beras biasa. Apa iya saya ditipu lagi?” keluhnya, Senin (30/6/2025), dengan nada lelah dan kecewa.
Keluhan Ibu Sari bukan cerita baru. Di tengah tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sebagai makanan pokok, dugaan praktik curang kembali mencuat—terutama soal pencampuran beras premium dengan beras program pemerintah, yakni Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Skema curang ini tak hanya mencederai kepercayaan publik, tapi juga menambah beban finansial rumah tangga, terutama dari kalangan menengah ke bawah.
Frasa “rakyat lagi yang kena” kembali menjadi ungkapan yang terasa sangat relevan dan menyakitkan.
Beras bukanlah sekadar komoditas. Ia merupakan tulang punggung ketahanan pangan nasional. Bagi keluarga miskin, sekitar 64 persen pengeluaran bulanan mereka dialokasikan untuk makanan, dan dari jumlah itu, beras menyumbang antara 18 hingga 22 persen.
Artinya, sedikit saja perubahan harga atau kualitas beras akan langsung berdampak besar terhadap daya beli dan kesejahteraan masyarakat.
Temuan Pemerintah: Gambaran Suram di Balik Kemasan
Kementerian Pertanian (Kementan) baru-baru ini merilis hasil investigasi yang mengejutkan publik. Dari total 268 sampel beras dari 212 merek yang tersebar di pasar tradisional dan ritel modern.
Ditemukan bahwa 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak memenuhi standar mutu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31 Tahun 2017.
Uji laboratorium menunjukkan pelanggaran dalam berbagai aspek mutu, mulai dari kadar air, kandungan beras kepala, jumlah butir patah, hingga derajat sosoh.
![]() |
Ketidaksesuaian berat dan harga beras mencerminkan lemahnya pengawasan dan membuka celah bagi praktik curang yang merugikan konsumen sehari-hari. (Infopublik.id) |
Tak berhenti di situ, pelanggaran juga terjadi dalam aspek harga dan takaran. Sebanyak 59,78 persen beras premium dan 95,12 persen beras medium dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Bahkan, sekitar 21,66 persen beras premium dan 9,38 persen beras medium dijual dalam kemasan yang tidak sesuai beratnya—misalnya, label 5 kilogram ternyata hanya berisi 4,5 kilogram.
Temuan ini menunjukkan adanya pola pelanggaran yang tidak sekadar insidental, melainkan sistemik dan kemungkinan besar dijalankan secara terorganisir.
Dalam konferensi pers, ia menyatakan bahwa data produsen nakal telah diserahkan ke Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti secara hukum.
Menurut estimasi Kementan, kerugian konsumen akibat praktik ini mencapai Rp99,35 triliun per tahun, dengan rincian Rp34,21 triliun berasal dari segmen beras premium dan Rp65,14 triliun dari beras medium.
Ini bukan angka kecil, bahkan lebih besar dari anggaran tahunan beberapa kementerian. Kerugian ini juga jauh melampaui catatan kerugian serupa dalam lima tahun terakhir yang mencapai Rp10 triliun.
Modus Curang: Oplosan, Harga Melambung, dan Takaran Bohong
Tiga modus utama mendominasi praktik curang ini. Pertama, pencampuran beras SPHP yang seharusnya disubsidi dan dijual murah dengan beras kualitas lebih tinggi, kemudian dipasarkan sebagai beras premium.
Kedua, pelanggaran terhadap ketentuan HET, di mana beras dijual jauh di atas harga yang diperbolehkan. Ketiga, manipulasi takaran dalam kemasan yang merugikan konsumen secara langsung.
Menurut Dr. Andi Wijaya, pakar agribisnis dari Universitas Gadjah Mada, pencampuran beras bukan hanya soal bisnis curang, tetapi pelanggaran serius terhadap regulasi dan etika.
“Beras SPHP itu kualitasnya medium ke bawah. Ketika dicampur dengan sedikit beras premium lalu dijual dengan harga tinggi, itu sama saja menipu masyarakat. Banyak konsumen tidak tahu cara membedakan secara kasat mata,” ujarnya.
Peraturan Menteri Pertanian telah menetapkan standar yang jelas untuk beras premium: derajat sosoh minimal 95 persen dan beras kepala minimal 85 persen.
Bandingkan dengan beras medium, yang hanya mewajibkan beras kepala minimal 75 persen. Namun ketika beras medium dioplos dan dipasarkan dengan label premium, konsumen tidak hanya membayar lebih mahal tetapi juga kehilangan hak mereka atas informasi yang jujur dan produk yang sesuai mutu.
Di sisi lain, pelanggaran harga dan kuantitas turut memperparah beban konsumen. Di berbagai wilayah seperti Jawa Barat dan Banten, harga beras medium tembus Rp13.000 hingga Rp15.000 per kilogram, jauh di atas HET Rp12.500.
Tak jarang, konsumen juga menemukan bahwa kemasan beras lima kilogram tidak pernah benar-benar penuh.
“Setiap beli, saya timbang ulang. Paling sering cuma 4,6 atau 4,7 kilogram,” ungkap Yudi, warga Depok.
Meski pencampuran beras SPHP dengan beras premium menjadi salah satu dugaan utama dalam praktik curang ini, sejumlah pejabat menyatakan bahwa tidak semua kasus dapat dikategorikan sebagai “oplosan” secara teknis.
![]() |
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi ketika berada di sebuah pasar. (Detikcom/Heri Purnomo). |
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, menegaskan bahwa sebagian besar pelanggaran justru terjadi dalam bentuk pelabelan kualitas premium pada beras yang tidak memenuhi standar mutu—baik dari sisi tingkat pecahan beras maupun bobot kemasan.
“Intinya ada yang ditemukan lebih dari 15 persen, bukan oplosan lah bahasanya,” ujarnya.
Klarifikasi ini penting agar masyarakat tidak serta-merta mengaitkan seluruh beras premium di pasaran dengan praktik oplosan beras SPHP.
Namun demikian, Arief juga mengakui adanya kebocoran distribusi beras SPHP yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat secara tepat sasaran, tetapi justru masuk kembali ke pasar umum dan berpotensi disalahgunakan oleh oknum pelaku usaha untuk meraih keuntungan lebih.
Dari Dapur Hingga Kepercayaan Publik
Kenaikan harga dan turunnya kualitas beras bukan sekadar isu pasar, tetapi menciptakan dampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Secara ekonomi, keluarga miskin menjadi pihak yang paling terpukul. Beras yang lebih mahal berarti alokasi anggaran rumah tangga untuk kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi menjadi tergerus.
Budi (38), seorang buruh harian di Surabaya, mengaku harus mengurangi uang jajan anak-anaknya demi membeli beras yang layak.
“Sekarang tiap hari cuma bisa masak satu kali. Sisanya makan mi instan,” katanya.
Dari sisi kesehatan dan gizi, penurunan kualitas beras mengancam ketahanan pangan rumah tangga. Beras yang memiliki kandungan butir patah tinggi atau kadar air tidak sesuai standar, cenderung memiliki nilai gizi yang lebih rendah.
Hal ini bisa berdampak jangka panjang, terutama bagi anak-anak yang berada di fase pertumbuhan. Dr. Lestari, ahli gizi dari Universitas Indonesia, memperingatkan bahwa penurunan kualitas beras secara masif dapat memicu peningkatan kasus malnutrisi.
“Jangan remehkan kualitas beras. Ini bukan soal kenyang saja, tapi kecukupan nutrisi harian,” tegasnya.
Dari perspektif hukum dan perlindungan konsumen, praktik ini merupakan pelanggaran nyata terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 9 dan 10 UUPK secara jelas melarang produsen memberikan informasi yang menyesatkan tentang mutu, harga, dan kuantitas.
Label kemasan yang tak sesuai dan praktik pemalsuan mutu adalah bentuk pengabaian terhadap hak konsumen atas informasi dan keamanan pangan.
Tak hanya konsumen, petani dan pelaku usaha yang jujur pun ikut dirugikan. Distorsi pasar akibat praktik curang ini membuat beras berkualitas tidak dihargai semestinya.
Agus, petani dari Karawang, mengungkapkan bahwa harga gabah di tingkat petani sering ditekan karena pedagang besar bisa memperoleh keuntungan besar dari praktik oplosan.
![]() |
Di balik praktik curang yang merugikan konsumen, para petani kecil pun menanggung beban pasar yang tidak adil dan semakin menjauhkan mereka dari kesejahteraan. (pertanian.ngawikab.go.id) |
“Kita petani susah payah tanam, rawat, panen, tapi harga jual ditekan. Sementara mafia beras bisa jual mahal dengan modal campuran,” ujarnya dengan nada getir.
Respons Pemerintah: Serius Tapi Belum Tuntas
Pemerintah sebenarnya telah merespons dengan sejumlah kebijakan. Bapanas telah menetapkan HET melalui Perbadan Nomor 5 Tahun 2024.
BULOG pun menjalankan program SPHP dengan target penyaluran 1,5 juta ton beras tahun ini. Aplikasi Klik SPHP bahkan telah dikembangkan untuk memantau distribusi dan harga beras di pasaran.
Namun, praktik curang tetap terjadi. Kementan telah menyerahkan data 212 produsen nakal ke aparat penegak hukum. Ancaman pidana lima tahun penjara dan denda hingga Rp2 miliar sesuai UUPK kini menggantung di atas kepala para pelaku.
BULOG juga berencana memperluas fungsi aplikasi Klik SPHP agar dapat mendeteksi distribusi beras hingga ke tingkat pengecer, tapi upaya ini belum sepenuhnya tuntas.
Direktur Utama BULOG bahkan mengakui bahwa koordinasi antar lembaga masih perlu ditingkatkan untuk benar-benar memutus mata rantai praktik curang ini.
Celakanya, rantai pasok beras yang panjang dan kompleks, ditambah keterbatasan jumlah petugas pengawas serta minimnya efek jera dari sanksi hukum, membuat para pelaku curang tetap merasa aman.
Kurangnya transparansi dan sistem ketertelusuran dari petani hingga konsumen membuat identifikasi pelanggaran menjadi sangat sulit dilakukan.
Mengapa “Rakyat Lagi yang Kena”?
Pertanyaan ini menggambarkan akar permasalahan yang sesungguhnya: kerentanan konsumen dalam menghadapi ketidakadilan di pasar.
![]() |
Minimnya informasi dan edukasi membuat konsumen kesulitan membedakan beras premium asli dan oplosan, apalagi di daerah dengan pilihan terbatas. (KOMPAS.com/VINCENTIUS MARIO) |
Informasi yang tidak simetris membuat masyarakat sulit membedakan mana beras premium asli dan mana yang oplosan. Di daerah terpencil, pilihan mereka juga terbatas—tidak banyak opsi, tidak ada kompetisi sehat.
Konsumen juga tidak sepenuhnya diberdayakan. Banyak yang belum tahu bagaimana mengadukan pelanggaran atau menilai kualitas beras dengan benar.
“Kami sering menerima pengaduan, tapi jumlahnya masih sangat sedikit dibandingkan skala peredaran beras curang di pasar,” ujar Indah Susanti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Lemahnya literasi konsumen memperburuk celah pengawasan dan menciptakan ruang aman bagi pelaku curang.
Keadilan di Pasar Pangan Harus Ditegakkan
Menangani persoalan ini butuh pendekatan menyeluruh dan sinergis. Pengawasan dan penegakan hukum harus diperkuat dengan peningkatan inspeksi lapangan oleh Kementan, Bapanas, BULOG, dan Satgas Pangan Polri.
Penindakan tegas tanpa kompromi sangat penting untuk memberikan efek jera. Pemerintah dapat membentuk tim lintas lembaga untuk memberantas mafia pangan secara terkoordinasi.
Pemanfaatan teknologi juga sangat mendesak. Sistem ketertelusuran berbasis blockchain dapat mencatat perjalanan beras dari petani hingga meja makan, mencegah manipulasi data.
Aplikasi Klik SPHP perlu diperluas dan diintegrasikan dengan platform data nasional agar deteksi anomali bisa dilakukan secara real-time.
![]() |
Aktivitas pedagang beras saat membawa satu karung beras di kios beras di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (11/9/2023). (Foto: Inilah.com/Didik Setiawan). |
Pemberdayaan konsumen juga harus menjadi prioritas. Pemerintah, melalui BPOM, Kementerian Perdagangan, dan YLKI, perlu meluncurkan kampanye edukatif besar-besaran agar masyarakat mengenali beras bermutu, memahami HET, dan tahu hak-hak mereka.
Saluran pengaduan seperti SIMPKTN, WBS BULOG, atau YLKI harus disosialisasikan secara luas, termasuk lewat media sosial dan komunitas lokal.
Koordinasi antar lembaga menjadi kunci. Kementan, BULOG, Bapanas, Kepolisian, dan kejaksaan harus duduk bersama secara reguler untuk menyusun langkah taktis bersama.
Di sisi lain, pelaku usaha jujur perlu dilibatkan sebagai mitra strategis untuk mendukung ekosistem pangan yang sehat dan adil.
Membangun Kepercayaan, Mengembalikan Keadilan
Kasus beras curang ini bukan semata soal manipulasi harga dan kualitas. Ini adalah soal kepercayaan publik terhadap sistem pangan nasional.
Ketika konsumen merasa ditipu, ketika petani merasa dirugikan, dan ketika pemerintah tampak tidak mampu menindak tegas, maka yang hilang bukan hanya uang melainkan keyakinan bahwa sistem ini berpihak pada rakyat.
“Negara tidak boleh kalah dari mafia pangan,” tegas Menteri Pertanian.
Seruan itu harus menjadi pengingat bahwa integritas pasar pangan adalah pilar utama dalam membangun ketahanan nasional.
Semua pihak pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan konsumen harus bersatu untuk memastikan praktik curang ini diberantas hingga ke akarnya.
Jika tidak, maka frasa “rakyat lagi yang kena” akan terus terulang, menjadi nyanyian sumbang di tengah meja makan keluarga Indonesia.
Siap untuk kamu terbitkan di media atau blogmu. Jika ingin versi pendeknya untuk Instagram, Meta Description, atau judul alternatif, tinggal minta saja.
0Komentar