Indonesia tertinggal dari Vietnam dan Malaysia karena penurunan sektor manufaktur ke 18,67% PDB. Pelajari masalah deindustrialisasi dini dan solusi untuk meningkatkan daya saing ekonomi RI. (Anadolu Agency)

Struktur ekonomi Indonesia sedang di ujung tanduk. Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang kian memanas, Indonesia justru terjebak dalam masalah struktural yang kian nyata: sektor manufaktur yang melemah dan ketergantungan pada ekspor bahan mentah. 

Ekonom senior sekaligus pendiri CReco Research Institute, Raden Pardede, memperingatkan bahwa Indonesia harus segera berbenah, atau risiko tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia akan semakin besar.

Saat dunia berguncang akibat perang dagang dan konflik geopolitik, sektor manufaktur yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi justru menunjukkan tanda-tanda deindustrialisasi dini. 

Siapa yang terdampak? Kelas menengah, lapangan kerja formal, hingga daya saing ekspor Indonesia di panggung global.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terus merosot.

Pada 2014, sektor ini menyumbang 21,02% terhadap PDB, namun pada 2023 angka itu anjlok menjadi 18,67%. 

Meski ada sedikit kenaikan menjadi 19,25% pada kuartal I-2025, pertumbuhan ini jauh dari cukup untuk mengejar ketertinggalan. 

Bandingkan dengan Vietnam, yang menurut Raden Pardede berhasil meningkatkan kontribusi manufaktur dari di bawah 20% pada 2000 menjadi hampir 25% pada 2020. 

Malaysia juga tak kalah, dengan sektor manufaktur menyumbang 23,02% terhadap PDB pada 2023, didorong oleh ekspor semikonduktor dan produk elektronik bernilai tambah tinggi. 

Sementara itu, Indonesia masih bergantung pada ekspor mineral dan bahan mentah, yang rentan terhadap gejolak harga komoditas global.

"Industri kita mengalami pelemahan. Dibanding negara lain, bisa dilihat sekarang Vietnam industrialisasinya naik, kita turun. Ini jadi catatan, ada persoalan di kita," tegas Raden dalam acara Gebyar Wawasan Kebangsaan 2025 yang disiarkan di YouTube Lemhannas RI, Senin (30/6/2025). 

Ia menyoroti bahwa deindustrialisasi dini ini bukan sekadar angka, melainkan ancaman nyata terhadap penciptaan lapangan kerja formal. 

Dengan sektor informal yang masih mendominasi—59,40% tenaga kerja pada Februari 2025 menurut BPS—Indonesia kehilangan peluang untuk membangun kelas menengah yang kuat. 

"Kalau banyak yang informal, yang bayar pajak juga sedikit," tambah Raden, menyinggung rendahnya kontribusi pajak akibat minimnya lapangan kerja berkelanjutan.

Ketidakpastian global memperparah situasi. Perang dagang dan konflik bersenjata di berbagai belahan dunia mengganggu rantai pasok global, yang berdampak pada ekspor Indonesia. 

Data BPS mencatat ekspor barang dan jasa pada kuartal I-2025 tumbuh 6,78%, namun sebagian besar masih didominasi oleh komoditas mentah. 

Sementara itu, negara seperti Malaysia dan Vietnam sudah beralih ke ekspor produk bernilai tambah tinggi, seperti mesin dan peralatan elektronik. 

"Bandingkan dengan Malaysia, Vietnam, Thailand, ekspor mereka sudah di machinery transport dan equipment, kita masih di mineral crude material. Ini perlu diperbaiki," ujar Raden.

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2023 dirancang untuk menyederhanakan regulasi dan menarik investasi, termasuk di sektor manufaktur. 

Inisiatif Making Indonesia 4.0 yang diluncurkan pada 2018 bertujuan mengadopsi teknologi Industri 4.0 seperti kecerdasan buatan dan Internet of Things untuk meningkatkan efisiensi produksi. 

Kebijakan hilirisasi, terutama di sektor nikel dan kendaraan listrik, juga menjadi andalan untuk meningkatkan nilai tambah domestik. 

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dalam keterangannya pada 6 November 2024, menyebutkan bahwa industri pengolahan nonmigas tumbuh 5,82% pada triwulan III-2024, didorong oleh permintaan domestik dan ekspor minuman. 

Namun, pertumbuhan ini belum cukup untuk mengimbangi tren penurunan jangka panjang.

Tantangan masih menghadang. Laporan dari Onyx Insight (November 2024) menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja terhambat oleh regulasi yang tumpang tindih, kapasitas administrasi yang terbatas, dan protes buruh. 

Investasi asing langsung (FDI) Indonesia pada 2020 hanya mencapai 23% dari PDB, dengan kurang dari 50% dialokasikan untuk manufaktur, jauh di bawah Vietnam yang mencapai 66%. 

"Investasi kita masih terkonsentrasi di sektor logam dasar dan pertambangan. Ini perlu diversifikasi lagi," ungkap Raden.

Ekonomi Indonesia memang masih menunjukkan ketahanan. Pada kuartal I-2025, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,87% (yoy), menurut BPS, didorong oleh sektor pertanian yang tumbuh 10,52% dan manufaktur yang menyumbang 4,55%. 

Namun, angka ini lebih rendah dari proyeksi sebesar 5% yang diharangkan pemerintah, seperti disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. 

"Ya, kalau matematika ada pembulatan, jadi 5%," ujar Airlangga pada 2 Mei 2025, mencoba tetap optimistis. 

Namun, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, memproyeksikan pertumbuhan hanya 4,91% pada kuartal I-2025, dengan konsumsi rumah tangga yang melambat dari 4,91% pada 2024 menjadi 4,5%.

Dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia, Indonesia jelas tertinggal. Vietnam diproyeksikan tumbuh 6,8% pada 2025 menurut World Bank, sementara Malaysia diperkirakan mencapai 3,9%. 

World Bank East Asia and Pacific Chief Economist Aaditya Mattoo bahkan menegaskan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara besar di kawasan yang diperkirakan tumbuh di atas level pra-pandemi pada 2024 dan 2025. 

Namun, ia juga memperingatkan bahwa kontribusi ekspor manufaktur Indonesia masih rendah dan investasi swasta perlu ditingkatkan.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Indonesia bisa belajar dari Vietnam, yang memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dan FDI untuk mendorong manufaktur. 

Investasi di human capital, seperti pelatihan tenaga kerja dan peningkatan akses internet untuk ekonomi digital, juga krusial. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers pada 20 November 2024, menekankan perlunya reformasi struktural untuk mendukung sektor yang menyerap tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas. 

IMF, dalam laporannya pada 7 Agustus 2024, juga menyoroti bahwa inflasi Indonesia yang rendah (1,71% pada Oktober 2024) dan sektor keuangan yang tangguh memberikan ruang untuk ekspansi fiskal pada 2025 guna mendukung pertumbuhan.