Orang Timur kerap distigma dalam dunia debt collector. Dan bagaimana stereotip terbentuk dan diperkuat media. (Ilustrasi: APLUSWIRE/Heninda Rochman Amilia)

Profesi debt collector atau penagih utang bukanlah sesuatu yang asing di Indonesi. Bagi debitur yang gagal memenuhi kewajiban pembayaran kepada lembaga keuangan, kehadiran debt collector kerap menjadi konsekuensi. 

Sering disebut "mata elang" atau Matel, profesi ini identik dengan penampilan yang intimidatif dan metode penagihan yang terkadang melewati batas prosedur yang wajar. 

Namun, bagaimana sesungguhnya asal-usul profesi ini, dan mengapa stigma—terutama terhadap individu dari Indonesia Timur—begitu kuat melekat? 

Istilah debt collector berasal dari bahasa Inggris: debt berarti utang, dan collector berarti pemungut. Secara umum, mereka adalah individu atau kelompok yang menjalankan tugas penagihan atas nama kreditur, baik dari sektor perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. 

Sebuah studi dari repository.unair.ac.id menunjukkan bahwa praktik ini sudah berlangsung selama lebih dari 5.000 tahun.

Pada masa awal, pemerintah kota-kota kecil atau city-states mulai memungut pajak untuk menopang stabilitas ekonomi. 

Karena keterbatasan personel, pemerintah kerap melibatkan pihak ketiga untuk melakukan penagihan. 

Seiring berkembangnya sistem ekonomi, transaksi utang piutang antar individu pun meningkat, dan penagih utang menjadi pihak penting dalam menyelesaikan tunggakan.

Di era modern, profesi ini mengalami transformasi. Pada dekade 1990-an, terutama saat krisis moneter terjadi, jumlah kredit macet melonjak tajam. 

Di tengah situasi ini, debt collector mulai berperan signifikan. Banyak individu dari Indonesia Timur, seperti Ambon dan Timor, mulai dikenal sebagai pelaku utama dalam dunia penagihan utang. 

Mereka membentuk kelompok berdasarkan daerah asal dan tak jarang juga terlibat dalam aktivitas lain seperti perantaraan jual beli tanah.


Praktik dan Sistem Kerja

Debt collector bekerja dengan tenggat waktu yang ketat, dan umumnya menerapkan pendekatan tegas dalam menagih utang. 

Mereka biasanya memperoleh komisi berdasarkan persentase dari jumlah utang yang berhasil ditagih, sesuai perjanjian dengan kreditur. 

Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit yang melanggar batas prosedur. Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP (7 Juni 2012) secara tegas melarang tindakan intimidatif atau kekerasan dalam proses penagihan.

Penelitian dari repository.unair.ac.id mengungkapkan bahwa kehidupan debt collector terbagi dalam dua ranah: frontstage dan backstage. 

Saat menjalankan tugas, mereka tampil sebagai sosok tegas dan dominan (frontstage), namun di luar pekerjaan, mereka kembali menjalani kehidupan biasa sebagai individu pada umumnya (backstage).


Stigma terhadap Orang Timur

Salah satu fenomena yang melekat pada profesi ini adalah stigma yang diarahkan kepada orang-orang dari kawasan Indonesia Timur, seperti Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. 

Stereotip ini kerap dikaitkan dengan penampilan fisik yang dianggap lebih “seram”, seperti warna kulit yang gelap dan postur yang besar. 

Padahal, profesi ini tidak terbatas pada kelompok tertentu—banyak juga yang berasal dari daerah lain seperti Sunda turut terlibat sebagai debt collector.

Skripsi karya Achmad Dion Perdana dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertajuk Stigmatisasi Terhadap Orang Timur pada Film Dokumenter Dinasti Penagih Utang dari Timur: The Debtfather Karya Vice Indonesia (2022) menjelaskan hal ini melalui teori Erving Goffman. 

Goffman mengelompokkan stigma ke dalam tiga kategori:

Abomination of the Body: Stigma fisik, seperti warna kulit gelap.

Blemishes of Individual Character: Stigma terhadap karakter, misalnya dianggap suka kekerasan atau mabuk.

Tribal Stigma: Stigma yang diturunkan berdasarkan suku atau kelompok etnis tertentu.

Goffman menyebut bahwa kelompok yang menciptakan dan mempertahankan stigma disebut the Normals, yakni mereka yang tidak mengalami diskriminasi dan cenderung memandang kelompok lain sebagai “tidak normal”. 

Dalam hal ini, masyarakat di Pulau Jawa kerap menjadi pihak yang menstigmatisasi orang Timur dalam konteks profesi penagih utang.


Peran Media dalam Pembentukan Persepsi

Media memiliki andil besar dalam membentuk citra negatif terhadap profesi debt collector. Dalam analisis dokumenter Vice Indonesia oleh Dion, ditemukan bahwa media sering kali menonjolkan unsur kekerasan atau kriminalitas yang dikaitkan dengan debt collector dari Indonesia Timur. 

Ini diperkuat dengan pendekatan semiotik Roland Barthes serta wawancara dengan pihak produksi.

Laporan dari Suara.com menyebutkan bahwa dari 28.434 laporan layanan konsumen kepada OJK, sebanyak 132 di antaranya menyangkut keluhan atas perilaku debt collector yang arogan. 

Media lebih sering menyoroti insiden ekstrem ketimbang menggambarkan keseharian atau tantangan kerja debt collector secara proporsional.

Hingga kini, profesi debt collector masih dibutuhkan, terlebih di tengah maraknya pinjaman daring (online lending). Praktik penagihan kini dilengkapi teknologi seperti analisis data untuk melacak keberadaan debitur. 

Namun, aspek etika tetap menjadi sorotan. Regulasi dari OJK berupaya menertibkan metode penagihan, meskipun penerapannya di lapangan kerap tidak konsisten.

Sebagian besar debt collector berasal dari latar belakang ekonomi yang sulit. Profesi ini menjadi cara untuk bertahan hidup di kota-kota besar. 

Meski demikian, stigma sosial membuat mereka sering dipandang negatif, terutama jika berasal dari Indonesia Timur.


Upaya Merubah Citra dan Praktik

Untuk menghapus stigma, dibutuhkan pendekatan yang lebih adil dan inklusif. Masyarakat perlu diedukasi mengenai peran debt collector dalam sistem keuangan, serta pentingnya etika dalam praktik penagihan. 

Di sisi lain, peningkatan pelatihan dan profesionalisme sangat penting untuk menjamin bahwa proses penagihan dilakukan secara manusiawi.

Media pun memiliki peran strategis dalam membentuk narasi yang lebih seimbang—tidak hanya menyoroti sisi negatif, tetapi juga menggambarkan tantangan profesi ini secara objektif. 

Dengan demikian, profesi debt collector dapat dipahami sebagai bagian dari mekanisme ekonomi modern, bukan sekadar simbol kekerasan atau intimidasi.

Profesi debt collector memiliki sejarah panjang, mulai dari peran dalam pemungutan pajak ribuan tahun lalu hingga keberadaannya di era modern Indonesia pasca-krisis 1990-an. 

Meski berperan penting dalam penyelesaian kredit bermasalah, profesi ini dibayangi stigma—terutama terhadap masyarakat Indonesia Timur. 

Dengan regulasi yang lebih kuat, pendekatan sosial yang lebih inklusif, serta narasi media yang seimbang, profesi ini dapat dipandang lebih objektif dan adil dalam konteks peran dan kontribusinya terhadap sistem ekonomi nasional.