Dokter Inggris Nick Maynard mengungkap pola penembakan sniper Israel terhadap anak-anak Gaza. 875 warga tewas sejak Mei 2025, mayoritas anak laki-laki, di pusat distribusi bantuan yang berubah jadi jebakan maut. (AFP/Mahmoud Hams)

Penembakan brutal terhadap anak-anak Palestina di Gaza kembali mencuat setelah dokter bedah asal Inggris, Nick Maynard, mengungkap kesaksian mengerikan dari Rumah Sakit Nasser, Khan Younis. 

Ia menggambarkan bagaimana sniper Israel menembaki anak-anak di pusat distribusi bantuan dengan pola yang terkesan seperti permainan. Setiap hari, kata Maynard, para penembak memilih bagian tubuh berbeda untuk dijadikan target tembakan. 

“Suatu hari semuanya luka tembak di perut, hari lain di kepala atau leher, dan berikutnya di lengan atau kaki. Seolah mereka memutuskan: kepala hari ini, leher besok, testis lusa,” ujarnya kepada BBC Radio 4.

Sejak Mei 2025, setidaknya 875 warga Palestina tewas ditembak ketika mengantre makanan di pusat distribusi bantuan, dengan mayoritas korban adalah anak laki-laki. 

Banyak yang meninggal di tempat, sementara yang selamat kerap tak mampu bertahan lama karena kondisi gizi buruk. Maynard mengaku belum pernah melihat begitu banyak pasien meninggal hanya karena tubuh mereka terlalu lemah untuk pulih dari luka tembak. 

“Kelaparan membuat mereka tak sanggup bertahan, bahkan setelah mendapat perawatan medis,” tegasnya.

Pusat distribusi bantuan yang seharusnya menjadi tempat warga mencari makanan justru menjadi lokasi mematikan. Maynard menyebut lokasi yang dijaga tentara dan kontraktor Israel itu sebagai “jebakan maut” karena warga sipil kelaparan ditembaki saat mencoba mengambil bantuan. Ia menilai penembakan tersebut bukan insiden acak, tetapi dilakukan dengan pola yang terencana dan berulang.

Militer Israel (IDF) membantah tuduhan penembakan terarah terhadap warga sipil. Namun, berbagai laporan internasional dan organisasi hak asasi manusia menilai praktik ini sebagai pelanggaran serius hukum humaniter. 

PBB bahkan menyebut operasi militer Israel di Gaza, yang dikenal sebagai “Operation Gideon’s Chariots”, berpotensi memenuhi unsur pembersihan etnis. 

Operasi yang dimulai sejak Mei 2025 itu bertujuan menguasai 65% wilayah Gaza dan menargetkan Hamas, tetapi memicu korban sipil dalam jumlah besar.

Laporan Maynard menambah daftar panjang tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel selama ofensif di Gaza. 

Pola penembakan yang sistematis, kondisi kelaparan massal, dan tingginya jumlah korban anak-anak menjadi sorotan tajam dunia internasional. 

Organisasi kemanusiaan menilai praktik ini bukan hanya tindakan militer berlebihan, tetapi juga strategi yang memperburuk penderitaan warga sipil, khususnya anak-anak yang kini menjadi simbol krisis kemanusiaan di wilayah itu.