China dikabarkan menekan BlackRock dan MSC dalam rencana akuisisi 43 pelabuhan global milik CK Hutchison senilai Rp370 triliun agar Cosco dilibatkan. 

Rencana penjualan 43 pelabuhan milik CK Hutchison Holdings, senilai US$22,8 miliar atau sekitar Rp370 triliun (kurs Rp16.200), terancam batal setelah China dikabarkan menekan agar perusahaan pelayaran milik negaranya, Cosco Shipping, dilibatkan dalam kesepakatan tersebut.

Transaksi besar ini tengah dalam tahap negosiasi eksklusif yang akan berakhir pada 27 Juli 2025. Dua pemain besar yang disebut jadi calon pembeli adalah BlackRock, raksasa investasi asal Amerika Serikat, dan Mediterranean Shipping Company (MSC), operator kapal kargo terbesar di dunia yang berbasis di Swiss.

Namun, muncul dugaan serius bahwa Beijing menolak duduk diam melihat aset strategis global berpindah ke tangan Barat. Laporan eksklusif dari Reuters dan Financial Times menyebut bahwa pemerintah China telah menyampaikan pesan langsung ke manajemen CK Hutchison, BlackRock, dan MSC: jangan tutup kesepakatan ini tanpa melibatkan Cosco.

“China memberi sinyal keras bahwa mereka siap menggunakan regulasi anti-monopoli atau alasan keamanan nasional untuk memblokir kesepakatan,” ungkap salah satu sumber yang mengetahui langsung isi negosiasi, dikutip Reuters, 26 Juni lalu.

Kepentingan China dalam isu ini sangat jelas. Cosco, sebagai perusahaan pelayaran milik negara, memainkan peran utama dalam strategi ekonomi maritim China lewat program Belt and Road Initiative (BRI). 

Aset pelabuhan terutama yang tersebar di Eropa, Asia, dan Amerika Latin merupakan elemen vital dalam kendali logistik global. Jika Cosco tersingkir, Beijing bisa kehilangan pijakan penting di simpul-simpul rantai pasok internasional.

Apalagi, MSC sebagai calon pembeli juga bukan mitra favorit Beijing. Meski berbasis di Swiss, MSC punya banyak kepentingan dagang dengan Eropa dan Amerika, dan eksklusivitas pengelolaan pelabuhan oleh MSC berpotensi memangkas ruang gerak Cosco di masa depan.

"Ini bukan hanya soal bisnis. Ini soal pengaruh dan kontrol jangka panjang atas jalur perdagangan global," ujar Dr. Alvin Chan, analis senior geopolitik di Maritime Strategic Institute, kepada Bloomberg.

Ancaman intervensi ini bukan yang pertama dari otoritas China. Sebelumnya, Beijing juga pernah menggunakan regulasi domestiknya untuk menggagalkan IPO Ant Group pada 2020, serta menekan Didi Global tak lama setelah go public di bursa New York. Skemanya mirip: menggunakan instrumen hukum dan regulator dalam negeri sebagai alat tekanan ekonomi.

Kementerian Luar Negeri China secara resmi membantah semua tudingan tersebut. Dalam pernyataan pers 27 Juni, juru bicara Lin Jian menyebut, “China selalu mendorong lingkungan bisnis yang adil dan terbuka. Klaim bahwa kami menekan kesepakatan komersial sepihak adalah tidak berdasar.”

Namun, banyak pihak menilai pernyataan tersebut lebih merupakan langkah menjaga citra internasional, mengingat meningkatnya sorotan terhadap praktik paksaan ekonomi yang belakangan kerap dituduhkan ke Beijing, terutama dalam konflik dagang dengan AS dan sekutu Barat lainnya.

Jika ancaman dari Beijing benar-benar diwujudkan, CK Hutchison bisa kehilangan persetujuan merger dari regulator pasar China State Administration for Market Regulation (SAMR). 

Parahnya lagi, Cosco berpotensi dibatasi aksesnya ke pelabuhan-pelabuhan Hutchison di dalam negeri China sendiri, yang selama ini menjadi bagian dari integrasi logistik regional mereka.

Secara bisnis, ini bisa menjadi pukulan telak. CK Hutchison mengelola 43 pelabuhan di 23 negara, termasuk terminal penting di Belanda, Meksiko, Thailand, dan Oman. Dalam dunia logistik, skala ini bukan main-main. Sekitar 10% lalu lintas peti kemas global diperkirakan melewati jaringan ini.

Dengan sisa waktu kurang dari dua minggu menuju batas akhir negosiasi, tekanan diplomatik dan ekonomi semakin memanas. Jika Cosco tidak masuk ke dalam daftar investor, bukan tak mungkin kesepakatan akan terhenti total, memaksa CK Hutchison mencari pembeli baru atau menunda seluruh rencana divestasi.

“Ini bukan lagi soal harga. Ini sudah menyentuh wilayah sensitif: kedaulatan ekonomi dan pengaruh global,” pungkas Alvin Chan.