Amnesty International Indonesia (AII) angkat suara keras terhadap pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut demonstrasi Indonesia Gelap dan tagar viral #KaburAjaDulu sebagai gerakan yang “dibayar koruptor”.
Kritik ini dilontarkan usai Presiden berpidato di Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo, Minggu (20/7), yang menyebut aksi-aksi tersebut “dibayar oleh mereka-mereka yang ingin Indonesia selalu gaduh dan miskin”.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menilai tuduhan itu bukan hanya tidak berdasar, tapi juga mencederai kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
“Pernyataan Presiden tersebut jelas merupakan bentuk serangan terhadap kebebasan berekspresi dan hak warga sipil untuk menyuarakan protes yang sah dan damai,” tegas Wirya melalui pernyataan tertulis, Senin (21/7).
Ia menambahkan, tuduhan tanpa bukti seperti ini bisa menciptakan iklim ketakutan dan berbahaya bagi demokrasi.
Amnesty menilai klaim Presiden tersebut sebagai upaya mendelegitimasi gerakan masyarakat sipil. “Apa yang dikatakan oleh Prabowo tidak didasarkan pada bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan,” kata Wirya.
Amnesty bahkan menyamakan gaya komunikasi politik Prabowo dengan taktik Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kerap menyebar disinformasi untuk melemahkan kelompok minoritas.
“Taktik seperti ini mirip Donald Trump di Amerika Serikat, yang sering menyebarkan informasi tidak benar tentang pencari suaka dan migran untuk mendelegitimasi hak-hak mereka,” tambahnya.
Narasi Berulang yang Disebut Mengikis Demokrasi
Amnesty mencatat, ini bukan kali pertama Prabowo menyasar masyarakat sipil dengan tuduhan serupa. Dalam peringatan Hari Lahir Pancasila pada 2 Juni lalu, Presiden sempat menuding “kekuatan asing” membiayai LSM untuk mengadu domba bangsa.
“Sebelumnya Prabowo juga menyerang kredibilitas LSM dengan tuduhan membawa kepentingan asing dan misi adu domba saat masyarakat sipil mengawasi jalannya pemerintahan,” ujar Wirya.
Menurut Amnesty, pola tuduhan seperti ini lebih menargetkan motif dan kredibilitas pengkritik ketimbang merespons substansi kritik.
“Narasi seperti ini berbahaya, karena menciptakan kesan bahwa siapa pun yang mengkritik negara otomatis musuh, antek asing, atau kaki tangan koruptor. Ini adalah retorika khas rezim otoriter yang takut pada transparansi dan pertanggungjawaban publik,” ucap Wirya.
Desakan kepada Presiden untuk Hentikan Tudingan
Atas situasi ini, Amnesty mendesak Presiden Prabowo menghentikan tuduhan yang tidak berbasis data dan menjamin kebebasan berekspresi warga negara.
“Kebebasan sipil adalah fondasi demokrasi. Pemerintah seharusnya fokus menjawab keresahan publik, bukan menebar tuduhan yang melemahkan kepercayaan masyarakat,” tegas Wirya.
Gerakan Indonesia Gelap dan #KaburAjaDulu sendiri muncul sejak Februari 2025, tepat 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran. Gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil pecah di berbagai kota, menyoroti efisiensi anggaran negara, UU Minerba, dan lambannya pengesahan UU Perampasan Aset.
Tagar #KaburAjaDulu bahkan sempat menembus 1 juta cuitan di platform X (dulu Twitter) pada Maret, menjadi simbol kekecewaan warga terhadap arah kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat.
Kritik publik ini masih terus mengemuka, sementara respons Presiden kembali memicu sorotan luas, terutama dari kelompok pegiat hak asasi manusia.
Amnesty menegaskan, jika narasi tuduhan ini terus berlanjut, risiko polarisasi politik dan penyempitan ruang sipil akan semakin besar, dan bisa merusak citra Indonesia sebagai negara demokrasi di mata dunia.

0Komentar