![]() |
Sebanyak 30 wakil menteri di kabinet Presiden Prabowo tercatat merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN. (Foto: BPMI Setpres Indonesia) |
Praktik rangkap jabatan di lingkaran kekuasaan kembali mencuat. Kali ini, perhatian publik tersita pada temuan bahwa 30 wakil menteri (wamen) di pemerintahan Prabowo merangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan milik negara (BUMN) maupun anak usahanya.
Padahal secara administratif, jabatan wakil menteri sendiri adalah posisi penuh waktu dengan tanggung jawab kebijakan publik yang tidak ringan.
Dari 34 wamen aktif saat ini, hanya empat yang tidak tercatat merangkap jabatan. Artinya, hampir 90% pejabat setingkat eselon satu itu memiliki peran ganda. Mereka duduk di dua kursi sekaligus: satu di kementerian, satu lagi di lingkar BUMN strategis.
Sebut saja nama-nama seperti Kartika Wirjoatmodjo (Wamen BUMN), yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama BRI, atau Todotua Pasaribu (Wamen Investasi), yang menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama Pertamina.
Praktik ini menuai kritik tajam. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam, menyebut fenomena ini sebagai bentuk "penumpukan kekuasaan yang sangat tidak sehat dalam tata kelola negara."
Ia menilai ada kekosongan regulasi yang memberi celah bagi para pejabat menumpuk jabatan tanpa pembatasan tegas.
Dari data di atas, terlihat bahwa Telkom dan Pertamina menjadi dua BUMN paling favorit dijadikan “tambahan kursi” oleh para wamen. Bahkan, ada yang sampai bertumpuk di posisi komisaris utama.
Tak hanya berisiko menimbulkan benturan kepentingan, situasi ini juga menimbulkan beban anggaran negara dalam bentuk honorarium ganda dan fasilitas yang melekat.
Dalam laporan Ombudsman RI, praktik rangkap jabatan dikaitkan langsung dengan menurunnya kualitas pengawasan dan meningkatnya maladministrasi. Belum lagi potensi “titipan kebijakan” dari kementerian ke perusahaan negara yang mengaburkan independensi bisnis BUMN.
Kurnia Ramadhana dari ICW mengatakan bahwa praktik ini bisa memperlemah integritas pejabat publik karena “sulit memastikan siapa sebenarnya yang dilayani: kepentingan publik atau kepentingan korporasi.”
Pemerintahan mendatang pun dituntut untuk tidak mengulang pola ini. Sebab jika terus dibiarkan, penumpukan jabatan hanya akan menjadikan kekuasaan sebagai ladang distribusi politik, bukan pengabdian untuk rakyat.
0Komentar