Warga Muslim dan Kristen Palestina di Israel ditolak masuk bunker saat serangan rudal Iran, memicu kritik soal diskriminasi akses tempat perlindungan. (Foto: Ronaldo Schemid/AFP)

Pada akhir pekan sebelum 14 Juni 2025, saat sirene rudal berbunyi di Tel Aviv dan Jaffa karena serangan balasan dari Iran, belasan warga Palestina—baik Muslim maupun Kristen—di Jalan Yehuda Hayamit, Jaffa, justru harus menghadapi ancaman lain: diskriminasi. 

Mereka dilarang masuk ke bunker bawah tanah oleh tetangga Yahudi mereka, padahal sebelumnya telah diberi akses.

“Saya diberi kode akses oleh anggota komite sebelumnya, tapi setelah kami masuk saat serangan terjadi, tiba-tiba kodenya diubah,” kata Nasir Ktelat (63), salah satu warga yang tinggal di apartemen tua lantai empat tepat di seberang bunker.

“Kami berjumlah sekitar 12 hingga 15 orang Muslim dan Kristen. Kami merasa tidak diterima, tapi kami tetap masuk. Besoknya, kami dilarang total.” tambahnya.

Menurut Ktelat, warga Yahudi di gedung baru menyatakan langsung bahwa mereka "tidak ingin warga Palestina datang ke bunker", dan komite telah “mengubah tata tertibnya”. Akses mereka diputus secara sepihak.


Tak Hanya di Jaffa, Diskriminasi Merata

Insiden diskriminatif ini bukan satu-satunya. Di Acre, Samar al-Rashed (29), seorang ibu tunggal, dan putrinya Jihan (5), ditolak masuk bunker dengan alasan “tempat ini bukan untuk Anda”—padahal ia fasih berbahasa Ibrani. 

Di Haifa, Mohammed Dabdoob (33), pemilik toko servis ponsel, juga mendapati pintu bunker dikunci saat sirene berbunyi. Di Lydd (Lod), Yara Srour (22), mahasiswa keperawatan, beserta keluarganya, termasuk ibunya yang sakit lutut, harus bertahan tanpa perlindungan.

“Ini bukan kejadian kebetulan. Ini adalah pola diskriminasi sistemik,” tegas Abed Abu Shahada, aktivis Palestina di Israel. “Pemerintah Netanyahu membiarkan warga Palestina menghadapi rudal tanpa perlindungan.”


70% Rumah Palestina Tanpa Ruang Aman

Data dari Laporan Komptroller Negara Israel (2022) menunjukkan ketimpangan yang mencolok:

70% rumah warga Palestina tidak memiliki ruang aman,

Sementara hanya 25% rumah Yahudi yang mengalami hal serupa.

Contoh nyata: Kota Tamra dengan 35.000 warga Palestina tidak memiliki satu pun bunker publik, sedangkan pemukiman kecil Mitzpe Aviva (1.100 penduduk Yahudi) justru punya 13 bunker.

Ironisnya, Tamra menjadi salah satu lokasi korban jiwa dalam serangan rudal Iran. Empat warga tewas karena tidak punya tempat berlindung. 

Di saat yang sama, beredar video warga Mitzpe Aviva menyanyikan lagu “Semoga desamu terbakar” sambil merayakan serangan ke Tamra.


Latar Belakang Konflik dan Ketegangan Rasial

Serangan rudal Iran ke Israel terjadi sebagai balasan atas operasi militer Israel ke wilayah Iran. Situasi ini membuat kebutuhan akan perlindungan sipil makin mendesak—tetapi warga Palestina yang merupakan 20% dari populasi Israel (sekitar 2 juta orang) justru dikesampingkan.

Menurut Amnesty International dan Asosiasi untuk Hak Sipil di Israel (ACRI), diskriminasi ini merupakan bagian dari “sistem apartheid” yang membatasi hak-hak warga Palestina, termasuk dalam perencanaan kota dan akses ke fasilitas publik.

“Ini pelanggaran prinsip kesetaraan dalam hukum internasional, termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD),” tulis ACRI dalam laporannya.


Respons Pemerintah: Minim, Hampir Tak Ada

Hingga pertengahan Juni 2025, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Israel terkait pelarangan warga Palestina masuk bunker. 

Pemerintah sebelumnya berdalih bahwa keterbatasan anggaran menjadi penyebab infrastruktur yang timpang—klaim yang dianggap tak masuk akal oleh kelompok HAM.

“Selama perang, Anda tak bisa bilang ‘maaf, bunker hanya untuk yang Yahudi’,” ujar Shahada. “Itu bukan sekadar pengabaian, tapi kebijakan rasis yang disengaja.”

Tekanan terhadap pemerintah Israel untuk bertindak makin kuat, termasuk dari organisasi internasional. 

Namun, selama struktur diskriminatif dalam perencanaan kota dan sistem perumahan tak diubah, risiko warga Palestina tertinggal dalam perlindungan sipil akan tetap tinggi—terutama di tengah konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

“Israel tidak bisa terus mengklaim sebagai demokrasi sambil mempraktikkan diskriminasi sistemik terhadap 20% populasinya,” tutup laporan Amnesty.