ChatGPT memang tak terlihat makan banyak daya. Tapi tahukah Anda, tiap pertanyaan yang diketik pengguna ternyata menyedot listrik dan air—dua sumber daya yang kini jadi sorotan dunia. CEO OpenAI Sam Altman mengungkap, satu kueri ChatGPT menggunakan sekitar 0,34 watt-jam listrik dan 0,32 mililiter air atau setara seperlima belas sendok teh.
Sekilas kecil. Namun, dengan miliaran permintaan per hari dari lebih dari 400 juta pengguna mingguan, angka ini melonjak jadi konsumsi raksasa di balik kecerdasan buatan.
Data ini Altman sampaikan dalam blog pribadinya, The Gentle Singularity, yang rilis awal Juni 2025. “AI akan jadi semurah listrik,” tulisnya optimistis, merujuk pada biaya operasional yang akan turun drastis.
Tapi tak semua pakar sepakat. Banyak yang mempertanyakan transparansi metode perhitungan Altman, terutama di tengah kekhawatiran soal lonjakan konsumsi energi pusat data global.
Angka lebih gamblang datang dari laporan gabungan The Washington Post dan peneliti University of California, Riverside.
Dalam studi yang mereka rilis September 2024, disebutkan bahwa hanya untuk membuat email 100 kata menggunakan GPT-4, dibutuhkan rata-rata 519 mililiter air—setara satu botol air minum 16,9 ons—dan 0,14 kilowatt-jam listrik.
Jika lokasi pusat data berada di Washington, angkanya melonjak jadi 1.408 mililiter air. Sebaliknya, pusat data di Texas hanya menggunakan 235 mililiter. Penyebabnya ada di sistem pendingin dan kondisi iklim lokal.
“Sebagian besar air digunakan untuk mendinginkan server. Lokasi yang lebih dingin atau lembap bisa meningkatkan kebutuhan air secara signifikan,” jelas Shaolei Ren, profesor teknik elektro dari UC Riverside yang meneliti konsumsi sumber daya pusat data AI.
Dampak lingkungan tak berhenti di situ. Jika satu dari sepuluh pekerja di Amerika (sekitar 16 juta orang) menggunakan ChatGPT seminggu sekali untuk menulis email, konsumsi air tahunan bisa menembus 435 juta liter.
Ini setara dengan pasokan air harian bagi seluruh negara bagian Rhode Island selama lebih dari sehari. Tak hanya air, listrik juga jadi perhatian. AI kini diprediksi bakal mengalahkan konsumsi energi Bitcoin sebelum akhir 2025.
Bitcoin, yang selama ini dikenal rakus energi karena proses penambangan digitalnya, diperkirakan memakai listrik sebesar konsumsi tahunan Argentina.
Tapi AI punya daya rusak yang lebih luas karena digunakan di hampir semua sektor: keuangan, pendidikan, hingga layanan kesehatan.
International Energy Agency bahkan memperkirakan konsumsi energi pusat data bisa dua kali lipat pada 2026.
Chris Gladwin, CEO Ocient, menyebut ada ironi besar: “AI diciptakan untuk menyelesaikan tantangan besar umat manusia—termasuk iklim—tapi justru berkontribusi pada krisis air dan energi.” Ia menambahkan, transparansi data dan efisiensi teknologi harus jadi prioritas pelaku industri, bukan hanya janji manis soal masa depan.
Sebagian perusahaan memang mulai mengadopsi teknologi pendingin udara guna mengurangi penggunaan air, terutama di daerah kering seperti Arizona yang sudah dilanda kekeringan kronis. Tapi pendekatan ini justru bisa menaikkan beban listrik pusat data.
Sementara itu, Altman tetap pada visinya. Dalam blognya, ia menyebut AI akan segera menggantikan tugas-tugas kognitif, menghasilkan penemuan-penemuan ilmiah, dan bahkan mengoperasikan robot di dunia nyata mulai 2026–2027.
Meski ia mengakui ada tantangan besar seperti isu alignment dan kebutuhan demokratisasi akses, fokusnya tetap pada penurunan biaya, bukan penurunan jejak lingkungan.
Pertanyaan besar pun muncul: bisakah AI benar-benar berkelanjutan jika setiap tanya-jawab butuh air dan energi setara memasak sebutir telur? Di tengah ledakan penggunaan AI, industri dituntut untuk bukan hanya cepat dan murah—tapi juga hemat sumber daya.
0Komentar