![]() |
Penurunan jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 9,48 juta orang dalam lima tahun terakhir. (Bloomberg Technoz/Andrian Kristianto) |
Kondisi ekonomi Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serius. Salah satu dampak paling mencolok adalah terus berkurangnya jumlah penduduk yang tergolong kelas menengah. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai tekanan ekonomi yang berkepanjangan, seperti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), stagnasi upah, dan minimnya lapangan kerja layak bagi lulusan baru.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019, jumlah kelas menengah masih mencapai sekitar 57,33 juta orang (21,45% dari total penduduk). Namun pada 2024, jumlah ini menyusut menjadi 47,85 juta orang (17,13%). Artinya, dalam lima tahun, ada sekitar 9,48 juta orang yang terdegradasi dari kelas menengah.
Sebaliknya, kelompok yang disebut sebagai "kelas menengah rentan" atau aspiring middle class justru meningkat — dari 128,85 juta orang (48,20%) pada 2019 menjadi 137,50 juta orang (49,22%) pada 2024. Bahkan jumlah masyarakat rentan miskin pun melonjak tajam dari 54,97 juta (20,56%) menjadi 67,69 juta orang (24,23%) dalam kurun waktu yang sama.
Mengapa Ini Terjadi?
Kondisi ini mencerminkan betapa rapuhnya fondasi finansial banyak keluarga di Indonesia. Naiknya harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, hingga kurangnya kepastian kerja membuat banyak keluarga kesulitan mempertahankan status sosial-ekonominya.
Sementara itu, standar kelas menengah sendiri tidak lagi sekadar soal punya pekerjaan tetap. Dalam praktiknya, mereka yang dianggap kelas menengah harus bisa membiayai rumah, liburan rutin, pendidikan anak, dan tetap punya tabungan atau investasi.
Ciri-Ciri Kelas Menengah Atas
Berikut ini beberapa indikator umum yang menunjukkan apakah seseorang tergolong kelas menengah atas:
- Surplus Setelah Kebutuhan Pokok
Mereka tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga memiliki sisa dana yang cukup besar setelah menunaikan kewajiban utama seperti cicilan, pendidikan, dan dana pensiun. Dengan kata lain, mereka tidak hidup dari gaji ke gaji.
- Aset Beragam dan Terdiversifikasi
Orang di kelompok ini biasanya tidak hanya menyimpan uang di tabungan, tetapi juga berinvestasi di saham, properti, atau bisnis sampingan. Bahkan, pelunasan hipotek rumah sering kali dilakukan lebih cepat tanpa mengorbankan gaya hidup.
- Tempat Tinggal yang Strategis
Tinggal di kawasan dengan nilai properti tinggi dan fasilitas lengkap menjadi indikator penting. Tapi yang lebih penting, mereka bisa tinggal di sana karena kemampuan finansial, bukan sekadar ikut-ikutan gaya hidup.
- Minim Tekanan Keuangan
Ketika tagihan tak terduga datang, mereka tetap bisa menghadapinya dengan tenang. Kelas menengah atas memiliki cadangan dana darurat yang cukup, sehingga hidup mereka tidak diwarnai kepanikan finansial.
- Gaya Hidup Lebih Bebas
Pendapatan mereka memungkinkan pembelian barang dan jasa yang dianggap mewah oleh banyak orang — seperti liburan ke luar negeri atau menikmati fine dining — tanpa merasa bersalah atau khawatir uang habis.
- Pendidikan Tinggi Tanpa Utang
Mereka dapat membiayai pendidikan anak-anak di universitas terbaik, bahkan hingga luar negeri, tanpa perlu mengandalkan pinjaman pendidikan.
- Peluang Pensiun Lebih Awal
Dengan sumber penghasilan pasif dari investasi atau bisnis, mereka bisa pensiun dini dan tetap mempertahankan gaya hidup yang nyaman.
- Pemasukan Lebih dari Satu Sumber
Berbeda dari mayoritas pekerja yang hanya bergantung pada satu gaji, kelas menengah atas hampir selalu memiliki multiple streams of income — dari bisnis, properti sewaan, saham, dan lainnya.
Fenomena menyusutnya kelas menengah menunjukkan bahwa daya tahan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia masih rapuh. Banyak orang hidup di zona abu-abu — tidak miskin, tapi juga belum aman secara finansial.
Dalam situasi seperti ini, penting untuk meningkatkan literasi keuangan, membangun pendapatan pasif, dan merancang perencanaan keuangan jangka panjang.
Menjadi kelas menengah atas bukan soal mengejar gaya hidup mewah, tetapi tentang mencapai kebebasan finansial dan kestabilan hidup, di mana keputusan hidup tidak lagi ditentukan oleh keterpaksaan ekonomi.
0Komentar