![]() |
Pada akhir 1960-an, Gubernur Ali Sadikin melegalkan kasino di Jakarta sebagai solusi menambah anggaran pembangunan. Kebijakan ini sukses menghasilkan miliaran rupiah bagi pemerintah. (Vice.com) |
Dalam rapat kerja Komisi XI DPR bersama Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan pada Kamis (8 Mei 2025), muncul satu usulan yang memantik perdebatan publik. Galih Kartasasmita, anggota DPR dari Fraksi Golkar, menyampaikan ide agar Indonesia mempertimbangkan legalisasi kasino sebagai salah satu sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
"Saya bukan bermaksud apa-apa, tapi coba lihat negara-negara Arab seperti Uni Emirat Arab (UEA), mereka mulai terbuka terhadap wacana pengoperasian kasino. Ini menunjukkan pendekatan yang out of the box dari pemerintah dan lembaganya," ujarnya dalam forum tersebut.
Pernyataan tersebut merujuk pada langkah UEA yang mulai melonggarkan kebijakan terkait perjudian, khususnya untuk menarik wisatawan mancanegara dan meningkatkan devisa. Langkah ini tergolong mengejutkan, mengingat sebagian besar negara di kawasan Teluk selama ini sangat ketat dalam mengatur aktivitas perjudian karena alasan agama dan budaya.
Namun, dengan mempertimbangkan manfaat ekonomi dan potensi pemasukan yang besar, sebagian negara tersebut tampaknya mulai mengambil pendekatan yang lebih pragmatis. Ini yang kemudian dijadikan referensi oleh Galih Kartasasmita sebagai peluang yang layak dikaji untuk Indonesia.
Jejak Sejarah Kasino di Indonesia
Sebenarnya, Indonesia bukan negara yang benar-benar asing dengan praktik kasino legal. Jejak sejarah mencatat bahwa pada era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di akhir 1960-an, perjudian sempat dilegalkan dan menjadi sumber pendanaan signifikan bagi pembangunan ibu kota.
Saat itu, Jakarta menghadapi tantangan besar. Infrastruktur minim, anggaran terbatas, dan kebutuhan pembangunan yang mendesak membuat Ali Sadikin harus mencari solusi nonkonvensional. Salah satunya adalah melegalkan perjudian dalam kawasan tertentu dan mengaturnya secara resmi.
Menurut laporan Sinar Harapan tertanggal 21 September 1967, kebijakan ini bertujuan untuk mengontrol praktik judi yang saat itu marak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pemerintah mencatat, praktik perjudian ilegal menghasilkan sekitar Rp300 juta per tahun—angka besar pada masa itu—yang sayangnya hanya dinikmati oleh oknum-oknum pelindung perjudian.
“Uang sebanyak itu tidak masuk ke kas negara, tapi justru ke tangan para pelindung ilegal,” demikian pernyataan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kala itu.
Dengan memformalkan praktik ini, Pemerintah DKI mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 805/A/k/BKD/1967. Kebijakan ini membuka jalan bagi pembukaan kasino resmi pertama di Indonesia, yang terletak di kawasan Petak Sembilan, Glodok.
Kasino Petak Sembilan: Proyek Ambisius Gubernur Ali Sadikin
Kasino di Petak Sembilan dioperasikan melalui kerja sama dengan seorang Warga Negara Tionghoa bernama Atang. Menariknya, operasional kasino ini memiliki batasan yang ketat. Hanya Warga Negara China atau keturunan Tionghoa yang diperbolehkan berjudi di sana, sementara WNI lainnya tidak diizinkan ikut serta.
Media Kompas (23 November 1967) melaporkan bahwa kasino tersebut dibuka setiap hari tanpa henti dan dijaga ketat oleh aparat keamanan. Meskipun bersifat terbatas, animo masyarakat cukup tinggi. Ratusan orang datang dari berbagai kota seperti Medan, Bandung, Pontianak, dan Makassar.
Pemerintah pun langsung merasakan dampak ekonomi dari legalisasi ini. Data resmi menunjukkan bahwa dari satu lokasi saja, pajak yang disetorkan ke kas daerah mencapai Rp25 juta per bulan.
Jika dibandingkan dengan harga emas saat itu yang sekitar Rp230 per gram (Nusantara, 15 Agustus 1967), maka nilai Rp25 juta bisa dikonversikan menjadi 108,7 kg emas. Dengan harga emas saat ini, nilai tersebut setara dengan ratusan miliar rupiah.
Dari Petak Sembilan ke Ancol: Perluasan dan Keberhasilan
Tidak berhenti di satu titik, Ali Sadikin memperluas legalisasi perjudian hingga ke kawasan Ancol. Kasino di sana pun turut memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan daerah. Dana yang dikumpulkan dari sektor ini digunakan untuk membangun berbagai fasilitas umum—jembatan, jalan raya, rumah sakit, hingga sekolah-sekolah.
Dalam kurun waktu satu dekade, tepatnya dari 1967 hingga 1977, pendapatan DKI Jakarta melonjak tajam. Dari hanya puluhan juta rupiah per tahun, menjadi Rp122 miliar pada 1977. Keberhasilan ini turut membantu menyulap wajah Jakarta menjadi kota metropolitan modern.
Namun, kebijakan ini tidak berlangsung selamanya. Pada tahun 1974, pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian yang secara tegas melarang segala bentuk perjudian, termasuk kasino yang sebelumnya dilegalkan.
Mungkinkah Kasino Dilegalkan Kembali?
Pertanyaan yang kini mengemuka: haruskah Indonesia kembali membuka pintu terhadap legalisasi kasino?
Dari sisi ekonomi, ada argumen kuat bahwa kasino dapat menjadi sumber PNBP yang signifikan, terutama jika dikelola dengan akuntabilitas tinggi dan pembatasan yang jelas. Negara seperti Singapura, Makau, dan kini UEA telah menunjukkan bahwa industri perjudian dapat menjadi motor ekonomi melalui sektor pariwisata dan penciptaan lapangan kerja.
Namun, tentu saja ada risiko sosial dan moral yang perlu dikaji secara serius. Perjudian berpotensi menimbulkan kecanduan, konflik keluarga, dan kriminalitas jika tidak diawasi secara ketat. Oleh karena itu, pendekatan legalisasi tidak boleh dilakukan dengan gegabah, melainkan melalui kajian multidisipliner—melibatkan ekonom, sosiolog, ahli agama, dan pemangku kepentingan lain.
Usulan untuk meniru langkah negara-negara Arab dalam membuka kasino memang kontroversial, tetapi memiliki landasan sejarah yang tidak bisa diabaikan. Pengalaman Gubernur Ali Sadikin pada era 1960-an membuktikan bahwa, jika dikelola dengan baik, sektor ini mampu menyumbang besar bagi pembangunan.
Apakah Indonesia siap untuk membuka kembali lembaran lama ini dengan pendekatan baru dan pengawasan ketat? Jawabannya bukan hitam putih, namun membutuhkan diskusi nasional yang matang—dengan berpijak pada sejarah, belajar dari negara lain, serta mempertimbangkan nilai-nilai lokal dan kepentingan publik yang lebih luas.
0Komentar