Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti minimnya peran SDM Indonesia di lembaga internasional seperti IDB. Ia mengungkap faktor penyebab dan pentingnya peningkatan daya saing global. (Instagram/@smindrawati)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan keprihatinannya terhadap masih minimnya sumber daya manusia (SDM) asal Indonesia yang mampu bersaing dan menempati posisi strategis di lembaga-lembaga internasional. Salah satu contoh nyata yang ia soroti adalah ketiadaan SDM Indonesia di jajaran pimpinan Islamic Development Bank (IDB).

Padahal, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Tidak hanya itu, Indonesia juga menjadi pemegang saham ketiga terbesar di IDB. Namun, kenyataan tersebut belum tercermin dalam kehadiran profesional Indonesia di posisi kunci dalam institusi keuangan syariah global itu.

“Tidak ada satu pun Vice President IDB yang berasal dari Indonesia. Tidak ada juga sosok dari Indonesia yang tampil menonjol di jajaran senior management mereka,” ujar Sri Mulyani dalam Sarasehan Ekonom Islam Indonesia yang digelar Kamis, 15 Mei 2025.

Menurutnya, situasi ini bukan semata-mata soal tidak diberi kesempatan. Tantangan utama justru terletak pada kualitas dan daya saing SDM Indonesia sendiri. Ia menyebut bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar SDM Indonesia bisa lebih kompetitif di level internasional.

Faktor-faktor seperti kompetensi teknis, penguasaan bahasa Arab, serta kemampuan membangun jaringan internasional dinilai masih menjadi kendala signifikan. “Ini bukan soal akses saja, tapi soal kemampuan. Apakah kompetensinya cukup? Apakah bisa bahasa Arab? Apakah punya jejaring internasional?” ucapnya.

Sri Mulyani juga menyinggung bahwa banyak negara lain yang justru mampu mengisi posisi strategis di IDB, meskipun mereka tidak berasal dari negara muslim besar. Ia menyebutkan contoh seperti Pakistan, India, bahkan Nigeria, yang telah berhasil menempatkan perwakilannya di kursi pimpinan lembaga tersebut.

“Saya melihat sendiri dalam berbagai forum internasional, posisi-posisi penting diisi oleh profesional dari Pakistan, India, bahkan Afrika seperti Nigeria. Teman saya dari Nigeria, Muhtar, bisa jadi Vice President meskipun dia tidak bisa bahasa Arab,” ungkapnya.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa keberhasilan menembus posisi global bukan semata ditentukan oleh latar belakang negara atau bahasa, melainkan oleh kualitas individu dan kepercayaan yang mampu dibangun secara profesional.

Apa yang disampaikan Sri Mulyani sejatinya merupakan alarm bagi Indonesia untuk segera melakukan pembenahan sistemik dalam pembangunan SDM. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta perlu bersinergi dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia, khususnya dalam sektor-sektor strategis yang berpeluang berkontribusi di level global.

Penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Arab dan Inggris, menjadi krusial. Namun lebih dari itu, kemampuan teknis, kepemimpinan, serta jejaring internasional juga harus menjadi prioritas dalam pengembangan karier profesional Indonesia.

Dalam konteks IDB dan lembaga multilateral lainnya, reputasi individu sangat menentukan. Profesional dari negara-negara lain mungkin tidak menguasai bahasa lokal lembaga tersebut, tetapi mereka bisa menunjukkan kepakaran dan kapabilitas manajerial yang kuat. Ini menjadi pelajaran penting bahwa diplomasi SDM harus didukung dengan kompetensi unggul, bukan sekadar status sebagai negara besar atau pemilik saham.

Indonesia sudah saatnya naik kelas. Tidak cukup hanya berperan sebagai pemilik saham di berbagai lembaga global, Indonesia juga perlu hadir sebagai pengelola aktif yang turut membentuk arah kebijakan. Hal ini hanya bisa tercapai bila SDM kita memiliki daya saing tinggi dan bisa dipercaya memimpin institusi internasional.

Pernyataan Sri Mulyani seharusnya membuka mata banyak pihak bahwa jalan menuju pengakuan global masih panjang. Namun, dengan pembenahan yang tepat, bukan tidak mungkin di masa depan akan ada putra-putri bangsa yang mampu duduk sejajar dengan profesional dunia dalam membangun institusi global yang lebih inklusif dan berkeadilan.