Menkomdigi Meutya Hafid (Foto: ANTARA FOTO/ASPRILLA DWI ADHA)

Menteri Komunikasi dan Digital (Mekomdigi), Meutya Hafid, mengungkapkan bahwa jumlah kartu SIM yang beredar di Indonesia saat ini mencapai 315 juta, jauh melebihi jumlah penduduk yang diperkirakan sekitar 280 juta jiwa. Temuan ini menunjukkan bahwa banyak individu yang memiliki lebih dari satu kartu SIM, sebuah fenomena yang kini tengah menjadi perhatian serius pemerintah.

"Di Indonesia ini ada 315 juta SIM card yang beredar, sementara populasi kita sekitar 280 juta. Nah, selisihnya ini digunakan untuk apa saja? Bisa jadi memang banyak orang punya lebih dari satu SIM, tapi kita perlu dalami lebih lanjut," ujar Meutya saat ditemui wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis, 15 Mei 2025.

Menanggapi hal ini, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komedigi) berencana melakukan pemutakhiran data secara menyeluruh terhadap penggunaan SIM card. Upaya ini akan melibatkan kerja sama erat dengan para operator telekomunikasi guna memastikan data pengguna lebih akurat dan transparan.

Langkah strategis yang tengah didorong adalah pembatasan penggunaan SIM card berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pemerintah ingin memastikan bahwa satu NIK hanya boleh digunakan maksimal untuk tiga kartu SIM, sebuah kebijakan yang sebenarnya sudah tertuang dalam peraturan sebelumnya namun belum sepenuhnya ditegakkan.

"Operator akan kami dorong untuk mendata ulang pengguna. Kalau ditemukan satu NIK digunakan untuk banyak nama, itu harus segera dibereskan. Kita minta operator melaporkan secara berkala kepatuhan mereka terhadap kebijakan maksimal tiga SIM card per NIK," tegas Meutya.

Selain menjadi langkah efisiensi data, pembatasan ini juga dimaksudkan untuk mengatasi persoalan serius yang sedang dihadapi Indonesia: lonjakan spam call. Indonesia kini menempati posisi kedua sebagai negara dengan panggilan spam terbanyak di dunia. Hal ini tentu sangat mengganggu masyarakat dan membuka celah penyalahgunaan data.

Menurut Meutya, regulasi yang sedang dipersiapkan bukan bertujuan untuk menyulitkan masyarakat, melainkan untuk menciptakan sistem komunikasi yang lebih aman dan tertib. Ia meminta dukungan publik terhadap kebijakan ini, agar penataan kembali sistem registrasi kartu SIM dapat terlaksana dengan baik.

"Kami ingin menata ulang sistem ini, bukan menyulitkan. Kami minta operator menegakkan aturan bahwa satu NIK hanya boleh digunakan untuk maksimal tiga SIM card. Ini juga bagian dari upaya mencegah penyalahgunaan, seperti spam call dan pencurian identitas," tambahnya.

Sebagai tambahan dari strategi ini, Meutya juga mendorong adopsi penggunaan e-SIM di Indonesia. Meski belum diwajibkan, ia menyebut teknologi ini sebagai solusi yang lebih aman karena melibatkan data biometrik dalam proses verifikasi. Dengan e-SIM, setiap pengguna akan lebih sulit menyalahgunakan identitas karena keterlibatan sistem pengenalan identitas yang lebih kuat dan aman.

"Kami memang tidak mewajibkan, tapi kami imbau masyarakat untuk mulai beralih ke e-SIM jika perangkatnya sudah mendukung. Ini salah satu cara melindungi data pribadi dan mencegah pencurian identitas. Dengan sistem ini, pencocokan dengan NIK jadi lebih aman karena memakai biometrik," katanya.

Dari data dan kebijakan yang diungkap Meutya, terlihat bahwa pemerintah kini semakin serius dalam melakukan reformasi di sektor telekomunikasi. Tak hanya fokus pada kuantitas, namun juga pada kualitas layanan dan keamanan data pengguna. Dalam era digital seperti sekarang, menjaga integritas data pribadi menjadi kunci utama.

Langkah ini patut diapresiasi, mengingat semakin banyaknya modus kejahatan yang memanfaatkan celah dalam sistem registrasi SIM card. Jika benar-benar dijalankan dengan disiplin dan diawasi secara berkala, pembatasan SIM per NIK serta dorongan penggunaan e-SIM bisa menjadi fondasi kuat bagi ekosistem digital yang lebih aman dan terpercaya.