![]() |
Kondisi ekonomi Indonesia menekan kelas menengah. Transaksi QRIS turun, tabungan menyusut, dan konsumsi melemah. (via X) |
Kondisi ekonomi Indonesia menunjukkan tekanan nyata terhadap kelas menengah. Salah satu indikator mencolok adalah menurunnya transaksi digital, khususnya melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Fenomena ini dilaporkan oleh sejumlah bank nasional dan daerah. Penurunan transaksi bukan sekadar statistik—ini bisa menjadi cerminan perubahan sosial-ekonomi yang mengarah pada penurunan kualitas hidup kelompok kelas menengah.
Data dari Bank Jatim mengungkap penurunan tajam nilai transaksi QRIS Merchant dari Juni ke Agustus 2024. Nilai transaksi sempat mencapai Rp176,30 miliar pada Juni, turun ke Rp127,91 miliar di Juli, dan sedikit membaik menjadi Rp130,51 miliar pada Agustus.
Direktur Utama Bank Jatim, Busrul Iman, menegaskan bahwa meskipun angka transaksi QRIS tetap lebih tinggi dibanding Januari, penurunan tiga bulan berturut-turut patut diwaspadai. Penurunan ini terjadi bersamaan dengan tren deflasi inti yang berlangsung sejak Mei 2024.
Penurunan juga terjadi pada sisi tabungan. OK Bank Indonesia melaporkan bahwa simpanan nasabah mereka turun sekitar 12% secara tahunan per September 2024. Hal ini, menurut Direktur Kepatuhan OK Bank, Efdinal Alamsyah, disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat.
Nasabah kini lebih memilih membelanjakan uang untuk kebutuhan dasar ketimbang hiburan atau makan di luar. Perubahan pola transaksi menjadi sinyal bahwa kelas menengah mulai mengencangkan ikat pinggang.
Bank BJB mencatat frekuensi transaksi nasabah memang meningkat, namun nilai total uang yang dibelanjakan justru turun. Dengan kata lain, uang Rp100 ribu yang dulu cukup untuk 10 barang, kini hanya cukup untuk 8–9 barang saja. Ini memperkuat bukti bahwa daya beli sedang tergerus inflasi.
Direktur Utama BJB, Yuddy Renaldi, menegaskan bahwa penurunan bukan hanya pada nilai uang yang dikeluarkan, tapi juga pada efektivitas dari uang itu sendiri dalam membeli barang dan jasa.
Bank swasta terbesar di Indonesia, BCA, juga merasakan dampaknya. Presiden Direktur Jahja Setiaatmadja mengakui bahwa kredit retail melemah. Meski begitu, sektor KPR dan KKB masih tumbuh berkat bunga pinjaman yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih mampu melakukan pembelian besar dengan bantuan kredit.
Data dari BPS memperlihatkan tren penurunan jumlah kelas menengah dari 56,33 juta orang pada 2019 (21,45%) menjadi hanya 47,85 juta orang pada 2024 (17,13%). Artinya, lebih dari 9 juta orang telah turun kelas dalam lima tahun terakhir.
Sebaliknya, jumlah masyarakat kelas menengah rentan naik dari 128,85 juta menjadi 137,50 juta. Kelompok rentan miskin juga membengkak dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta orang. Ini mencerminkan perubahan struktur sosial yang nyata dan mengkhawatirkan.
Jika kelas menengah melemah, konsumsi nasional bisa ikut terseret. Mereka adalah kelompok yang paling aktif secara ekonomi: belanja, menabung, investasi, hingga mendukung UMKM.
Penurunan transaksi digital dan tabungan adalah alarm awal. Pemerintah perlu memperkuat daya beli, menjaga kestabilan harga, serta memberi insentif agar kelas menengah.
Kondisi ekonomi Indonesia mulai menunjukkan tekanan yang makin nyata terhadap kelas menengah. Salah satu indikator yang menarik perhatian adalah merosotnya nilai transaksi digital, khususnya melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).
Fenomena ini dilaporkan sejumlah bank, yang mencatat adanya penurunan transaksi selama pertengahan tahun 2024. Penurunan ini bukan hanya sekadar angka, tetapi bisa menjadi refleksi dari perubahan struktur sosial-ekonomi masyarakat, terutama kelompok kelas menengah.
Bank Jatim, salah satu bank daerah terbesar, mencatat penurunan signifikan dalam transaksi menggunakan QRIS dari Juni hingga Agustus 2024. Pada bulan Juni, nominal transaksi QRIS Merchant mencapai Rp176,30 miliar. Namun, jumlah tersebut merosot tajam menjadi Rp127,91 miliar di Juli, dan hanya sedikit naik ke Rp130,51 miliar pada Agustus.
Direktur Utama Bank Jatim, Busrul Iman, mengakui bahwa tren ini menunjukkan tekanan yang tidak bisa diabaikan. Walaupun secara tahunan transaksi QRIS masih tumbuh jika dibandingkan dengan awal tahun, penurunan dalam tiga bulan berturut-turut tetap mencemaskan.
Menariknya, tren penurunan ini terjadi beriringan dengan deflasi inti yang berlangsung sejak Mei 2024. Deflasi yang seharusnya membuat harga-harga barang turun malah tidak berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi masyarakat. Ini menjadi indikasi bahwa masyarakat menengah mungkin sedang menahan pengeluaran, atau bahkan mengalami penurunan daya beli secara nyata.
Tidak hanya Bank Jatim. OK Bank Indonesia juga mencatat penurunan tabungan nasabah sebesar 12% secara tahunan hingga awal September 2024. Direktur Kepatuhan OK Bank, Efdinal Alamsyah, menyebutkan bahwa kondisi ini terjadi karena masyarakat mulai memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan dasar.
Kategori pengeluaran seperti hiburan dan restoran mulai ditinggalkan. Sebaliknya, transaksi untuk kebutuhan pokok seperti bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga mengalami peningkatan.
Ini menunjukkan pergeseran pola konsumsi yang kerap menjadi tanda awal dari tekanan ekonomi terhadap segmen kelas menengah. Orang-orang yang sebelumnya memiliki ruang untuk berbelanja lebih bebas, kini mulai harus menghitung ulang kebutuhan dan menyesuaikan gaya hidup.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bank BJB. Meskipun jumlah transaksi elektronik meningkat dalam hal frekuensi, nilai uang yang digunakan dalam transaksi tersebut justru menurun.
Direktur Utama BJB, Yuddy Renaldi, mengatakan bahwa nasabah yang sebelumnya mampu membeli 10 barang dengan Rp100 ribu, kini hanya mendapatkan 8 hingga 9 barang dengan jumlah uang yang sama. Ini mencerminkan bahwa inflasi dan tekanan ekonomi telah menggerus daya beli.
Artinya, masyarakat memang masih bertransaksi, namun kemampuan membeli dari uang yang dimiliki kian menurun. Situasi ini bisa menjadi gambaran bahwa kelas menengah sedang dalam posisi bertahan, bukan tumbuh.
Sementara itu, bank swasta terbesar di Indonesia, BCA, mengonfirmasi adanya tekanan pada kredit retail. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, menyebut bahwa meskipun transaksi QRIS dan debit relatif stabil, kredit retail menunjukkan pelemahan.
Namun demikian, segmen kredit konsumsi seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) masih mengalami pertumbuhan karena suku bunga yang rendah. Ini menunjukkan bahwa sebagian kecil masyarakat masih memiliki kapasitas konsumsi besar, meski sebagian besar lainnya mulai menurun.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga memperkuat kesimpulan bahwa kelas menengah di Indonesia sedang menyusut. Pada 2019, jumlah penduduk kelas menengah mencapai 56,33 juta orang atau sekitar 21,45% dari total populasi.
Namun, pada 2024, jumlah itu merosot menjadi 47,85 juta orang atau 17,13%. Artinya, ada sekitar 9,48 juta orang yang kehilangan status kelas menengah dalam lima tahun terakhir.
Sebagian besar dari mereka bergeser ke kelompok yang lebih rentan. Kelas menengah rentan atau yang sering disebut aspiring middle class meningkat dari 128,85 juta orang menjadi 137,50 juta. Begitu juga dengan kelompok rentan miskin yang bertambah dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta jiwa.
Penurunan transaksi QRIS, tabungan, dan kredit retail bukan hanya statistik. Ini adalah sinyal bahwa daya beli masyarakat yang menopang konsumsi nasional sedang melemah. Ketika kelas menengah tertekan, dampaknya bisa merembet ke sektor riil seperti perdagangan, jasa, dan manufaktur.
Kelas menengah selama ini dianggap sebagai penyangga utama ekonomi. Mereka menjadi konsumen terbesar dan juga seringkali pelaku UMKM. Ketika kelompok ini kehilangan daya beli, maka potensi perlambatan ekonomi bisa menjadi lebih luas.
Pemerintah perlu segera merespons dengan kebijakan fiskal dan stimulus yang tepat sasaran. Subsidi langsung, penyesuaian pajak, dan dukungan terhadap UMKM bisa menjadi solusi jangka pendek untuk menjaga daya beli tetap hidup.
Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih sadar terhadap pentingnya pengelolaan keuangan pribadi yang bijak. Situasi ekonomi yang tidak menentu seperti ini membutuhkan strategi keuangan yang lebih defensif.
Penurunan transaksi digital, penurunan tabungan, serta bergesernya kelas sosial masyarakat menunjukkan adanya tekanan nyata terhadap kelas menengah di Indonesia. Jika dibiarkan, fenomena ini bisa berdampak jangka panjang pada kestabilan ekonomi nasional.
Langkah preventif dan kuratif perlu segera diambil untuk mencegah krisis konsumsi yang lebih dalam. Karena ketika kelas menengah jatuh, seluruh fondasi ekonomi bisa ikut goyah.
0Komentar