![]() |
Ekonomi Rusia berada dalam kondisi yang semakin genting akibat pergeseran ke mode perang dan sanksi Barat atas invasi Moskow ke Ukraina. (AP Photo) |
Kondisi ekonomi Rusia semakin menunjukkan tanda-tanda ketegangan serius. Transformasi ekonomi negara tersebut menuju mode perang, dikombinasikan dengan sanksi ketat dari negara-negara Barat, telah menciptakan tekanan struktural yang mendalam. Hal ini diungkapkan dalam laporan terbaru yang disiapkan oleh Stockholm Institute of Transition Economics (SITE) untuk para menteri keuangan Uni Eropa.
Laporan tersebut menyatakan bahwa meskipun secara kasat mata ekonomi Rusia terlihat stabil, ketahanan itu bersifat permukaan. Di bawah permukaan, ketidakseimbangan fiskal, distorsi alokasi sumber daya, dan lemahnya transparansi fiskal menjadi bom waktu yang siap meledak.
SITE menilai bahwa ekonomi Rusia saat ini bertahan hanya karena dorongan fiskal besar-besaran yang dihasilkan dari mobilisasi sumber daya untuk perang.
Namun, pendekatan ini dinilai tidak berkelanjutan dalam jangka panjang. Ketergantungan pada pembiayaan non-transparan dan terus menyusutnya cadangan fiskal menjadikan ekonomi Rusia sangat rentan terhadap guncangan lebih lanjut.
“Berlawanan dengan narasi yang dibangun Kremlin, waktu bukanlah sekutu bagi Rusia,” tegas laporan tersebut.
Data stabilitas PDB Rusia Diragukan
Pemerintah Rusia berusaha menunjukkan ketangguhan dengan mengklaim pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 4,3% pada 2024, menyusul ekspansi 3,6% pada 2023.
Namun, klaim ini dipertanyakan oleh para analis, termasuk Torbjorn Becker dari SITE, yang mempresentasikan laporan ini kepada para menteri Uni Eropa.
Becker menyoroti ketidakwajaran antara data inflasi resmi dan kebijakan moneter Bank Sentral Rusia. Rusia menyatakan tingkat inflasi berada di kisaran 9–10%. Namun, suku bunga acuan yang ditetapkan mencapai 21%, jauh di atas angka inflasi yang mereka laporkan.
"Bank sentral mana pun yang menetapkan suku bunga lebih dari dua kali lipat tingkat inflasi biasanya akan menghadapi tekanan politik besar," ujar Becker kepada media. “Ini menunjukkan bahwa angka inflasi yang dipublikasikan sangat mungkin diremehkan.”
Jika inflasi sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan, maka perhitungan PDB riil Rusia otomatis menjadi terlalu optimis. Ini adalah manipulasi data yang biasa digunakan untuk menjaga narasi stabilitas ekonomi di tengah krisis.
Beban Perang: Defisit Anggaran Meningkat
Selain manipulasi data, krisis fiskal juga menjadi sorotan penting dalam laporan ini. Rusia mengalami defisit anggaran tahunan sekitar 2% dari PDB, bahkan ketika belanja militer terus membengkak sejak awal invasi ke Ukraina.
Yang lebih mengkhawatirkan, SITE menilai bahwa angka tersebut tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Sebagian besar pembiayaan untuk kebutuhan perang dilakukan lewat jalur sistem perbankan, yang tidak tercatat dalam statistik resmi. Jika hal ini diperhitungkan, maka defisit fiskal riil Rusia bisa mencapai dua kali lipat dari angka resmi.
Dengan menurunnya pendapatan dari sektor energi – minyak, gas, dan batu bara – serta meningkatnya biaya operasional militer, keseimbangan fiskal Rusia makin terguncang.
Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah yang selama ini bergantung pada pendapatan energi sebagai tulang punggung ekonomi.
Ketahanan Ekonomi yang Hanya di Permukaan
Meskipun Kremlin mencoba mempertahankan citra kekuatan ekonomi, banyak indikator menunjukkan bahwa daya tahan Rusia hanya bersifat semu. Sanksi-sanksi yang diberlakukan oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Inggris telah menargetkan berbagai sektor vital Rusia.
Dengan total 16 paket sanksi dari Uni Eropa sejak Februari 2022, ekspor utama Rusia mengalami tekanan besar. Pendapatan dari minyak, gas, dan batu bara anjlok, sementara akses ke teknologi dan sistem keuangan internasional juga dibatasi.
Rusia mencoba mengalihkan pasar ekspornya ke negara-negara seperti Tiongkok dan India, namun nilai transaksi dan margin keuntungan tidak mampu menggantikan kehilangan dari pasar Barat.
SITE menegaskan bahwa meskipun Rusia mampu menjaga pertumbuhan nominal dalam jangka pendek, arah jangka panjang ekonominya suram. Ketergantungan pada belanja perang, pemalsuan data ekonomi, dan berkurangnya cadangan fiskal menciptakan risiko besar yang sulit dibendung.
Becker menyatakan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, perekonomian Rusia akan menghadapi tekanan multidimensi. Di satu sisi, mereka harus terus membiayai operasi militer. Di sisi lain, sumber daya ekonomi makin tersedot dan tidak digunakan untuk pembangunan sektor sipil, pendidikan, kesehatan, atau teknologi.
“Ekonomi mode perang bisa memberi dorongan sesaat, tapi itu bukan strategi berkelanjutan,” jelas Becker.
Melihat kondisi ini, jelas bahwa Rusia sedang berjalan di atas tali yang rapuh. Strategi jangka pendek yang bersandar pada kekuatan militer dan pembungkaman informasi publik tidak bisa menyembunyikan kenyataan ekonomi yang kian suram.
Dalam perspektif geopolitik, krisis ini juga menciptakan tekanan tambahan terhadap stabilitas domestik Rusia.
Jika situasi fiskal memburuk dan rakyat mulai merasakan efek inflasi yang lebih tinggi daripada yang diumumkan, potensi gejolak sosial juga bisa meningkat.
Pemerintah Rusia bisa saja terus memutar narasi kemenangan dan stabilitas, tetapi realitas di lapangan tidak bisa dipoles selamanya. Dalam jangka panjang, fondasi ekonomi yang lemah tidak akan mampu menopang ambisi geopolitik yang besar.
0Komentar