Seorang pekerja perkebunan kelapa sawit menunjukkan buah kelapa sawit di Meulaboh, Aceh, 28 Maret 2019. Indonesia adalah produsen utama minyak sawit, bahan baku berbagai produk, mulai dari minyak goreng, kosmetik, hingga biodiesel. (AFP via VOA INDONESIA)

Pelaku industri kelapa sawit di Indonesia tengah memasuki fase transformasi penting. Fokus utamanya kini bukan hanya pada peningkatan produktivitas, tetapi juga pada aspek keberlanjutan dan nilai tambah nutrisi. Teknologi pengolahan crude palm oil (CPO) yang selama ini digunakan dinilai sudah tertinggal zaman, sehingga perlu diganti dengan sistem yang lebih modern dan ramah lingkungan.

Langkah ini dinilai strategis untuk mengurangi emisi karbon yang selama ini menjadi sorotan dunia internasional. Selain itu, pengusaha dalam negeri juga ingin memastikan bahwa nutrisi dari minyak sawit tetap terjaga dalam proses pengolahannya.

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, menjelaskan bahwa proses modernisasi ini menjadi keharusan. Teknologi pengolahan yang digunakan selama beberapa dekade terakhir sudah tidak lagi efisien dalam hal emisi maupun hasil akhir.

"Teknologi pengolahan yang ada sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman. Kami ingin teknologi yang bisa menurunkan emisi gas buang, meningkatkan mutu hasil sawit, dan menjaga kandungan nutrisinya," ujar Sahat dalam pernyataannya kepada CNBC Indonesia, Kamis (15/5/2025).

DMSI kini tengah menjalin komunikasi intensif dengan pihak swasta, salah satunya dengan Agro Investama Group. Fokus kerja sama ini adalah mengembangkan teknologi baru berbasis dry process, yang diyakini lebih efisien dalam menjaga kualitas sawit dan lebih ramah terhadap lingkungan.

Selain berkolaborasi dengan sektor industri, DMSI juga telah bertemu dengan Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, untuk membahas potensi pengembangan teknologi sawit berbasis kreativitas dan inovasi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan teknologi sawit tak hanya dilihat dari sisi industri, tapi juga dari pendekatan ekonomi kreatif.

Yang menarik, minat dari negara asing terhadap pengembangan teknologi ini pun mulai terlihat. China, misalnya, menunjukkan ketertarikannya untuk berinvestasi dalam bentuk penyediaan mesin-mesin canggih senilai US$ 9 miliar—atau setara dengan Rp 148,59 triliun (dengan kurs Rp 16.510 per dolar AS).

Namun, investasi besar ini tentu tak datang tanpa syarat. Pihak China meminta hak untuk membeli 35% dari hasil produksi sawit berkualitas tinggi yang dihasilkan dari teknologi baru tersebut. Selain itu, mereka juga menginginkan akses terhadap kredit karbon yang dihasilkan dari efisiensi emisi dalam proses pengolahan.

"China siap menggelontorkan dana untuk investasi mesin pengolahan. Mereka juga menunjukkan keinginan untuk membantu para petani kita. Tapi, mereka ingin bisa membeli sebagian hasil sawit berkualitas baru dan juga emisi karbonnya," terang Sahat.

Proses penjajakan kerja sama ini masih berlangsung. Jika terealisasi, investasi tersebut akan dilaksanakan dalam jangka waktu tujuh tahun dan dimulai pada tahun 2026. Fokus utama dana investasi ini adalah pembangunan fasilitas pengolahan tandan buah segar (TBS) menggunakan mesin-mesin baru yang lebih modern.

DMSI berharap, teknologi ini tidak hanya menguntungkan pengusaha besar, tetapi juga bisa memberikan dampak positif langsung kepada para petani sawit di tingkat akar rumput. 

Dengan sistem pengolahan yang lebih efisien dan berkelanjutan, para petani diharapkan bisa memperoleh nilai lebih—baik dari sisi harga jual maupun dari penjualan kredit karbon.

Sahat menegaskan bahwa inisiatif ini juga merupakan bagian dari upaya jangka panjang untuk mengubah persepsi dunia terhadap sawit Indonesia. Selama ini, sawit dalam negeri seringkali mendapat cap negatif, terutama terkait isu lingkungan dan kualitas.

"Kami ingin kualitas sawit Indonesia tidak lagi dianggap sebagai produk kelas dua. Kami ingin dari yang dulu hanya dianggap loyang, kini berubah menjadi emas," pungkasnya penuh optimisme.

Transformasi teknologi dalam industri sawit patut diapresiasi dan didukung oleh berbagai pihak. Selama bertahun-tahun, kelapa sawit menjadi komoditas unggulan Indonesia, namun juga menjadi sasaran kritik global. 

Dengan mengadopsi teknologi pengolahan yang lebih ramah lingkungan dan berorientasi pada nutrisi, Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam mengelola industri ini secara berkelanjutan.

Di sisi lain, keterlibatan pihak asing seperti China memang menawarkan potensi percepatan pembangunan, namun perlu ada kehati-hatian dalam menetapkan syarat dan proporsi kepemilikan hasil produksi. 

Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu memastikan bahwa kerja sama ini tetap mengutamakan kedaulatan ekonomi dan kepentingan nasional, khususnya petani lokal yang menjadi ujung tombak industri sawit.

Jika dijalankan dengan benar dan transparan, modernisasi ini bisa menjadi titik balik penting bagi masa depan industri sawit Indonesia: lebih bersih, lebih sehat, dan lebih menguntungkan untuk semua pihak yang terlibat.