Di tengah perlambatan ekonomi global akibat perang dagang dan gejolak internasional, Indonesia justru diperkirakan tetap tumbuh positif.

Pada awal tahun ini, ekonomi nasional menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Situasi diperburuk oleh meningkatnya ketegangan perdagangan global, khususnya akibat kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump. Muncul kekhawatiran bahwa kondisi ini dapat mengarah pada resesi di Indonesia. 

Namun, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri, menepis kekhawatiran tersebut. Dalam sebuah kuliah umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), ia menyatakan bahwa tidak perlu cemas terhadap kemungkinan resesi.

Menurut Chatib, optimisme ini bukan karena kekuatan ekonomi domestik yang tangguh menghadapi perlambatan global, melainkan lebih karena keberuntungan dan respons kebijakan yang baik. Salah satu faktor utama yang melindungi Indonesia adalah rendahnya tingkat integrasi ekonomi negara ini dengan sistem global.

Chatib menjelaskan bahwa karena Indonesia kurang kompetitif dan tidak terlalu terhubung dengan ekonomi global, dampak negatif dari gejolak internasional menjadi lebih terbatas. Hal ini terlihat dari rasio ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di kawasan.

Sebagai perbandingan, ekspor Singapura terhadap PDB bisa mencapai 180%, Vietnam 79%, dan Thailand sekitar 60%. Sementara itu, Indonesia hanya sekitar 25%. Karena ketergantungan yang lebih kecil terhadap ekspor, Indonesia dinilai akan mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara tersebut dalam situasi global yang tidak menentu.

Dana Moneter Internasional (IMF) juga memperkirakan tren serupa. Dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025, IMF merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7% untuk tahun 2025 dan 2026, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,1% pada Januari 2025.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Vietnam diperkirakan akan melambat secara signifikan akibat dampak perang dagang, dari 7,1% pada 2024 menjadi 5,2% pada 2025 dan terus turun ke 4% pada 2026. Perlambatan ini disebabkan oleh tingginya ketergantungan Vietnam terhadap perdagangan internasional, terutama dengan Amerika Serikat.

Namun, Chatib mengingatkan bahwa saat ekonomi global mulai pulih, Indonesia mungkin tidak akan mengalami pemulihan yang cepat seperti negara-negara yang lebih terintegrasi secara global. Ini karena kontribusi ekspor terhadap PDB Indonesia yang rendah, sehingga tidak akan mendapatkan dorongan signifikan dari pemulihan perdagangan dunia.