![]() |
| Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (DPR RI) |
Rencana pemerintah untuk melakukan redenominasi rupiah, mengubah nilai nominal dari Rp1.000 menjadi Rp1 menjadi sorotan di DPR dan kalangan ekonom. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah memperingatkan potensi lonjakan harga dan tekanan inflasi apabila kebijakan tersebut diterapkan tanpa kesiapan teknis yang memadai.
“Itulah yang dikhawatirkan. Kalau aspek teknis pemerintah belum siap, kalau harga Rp280 dibulatkan jadi Rp300, maka inflatoirnya yang terjadi,” kata Said di Kompleks Parlemen, Selasa (11/11/2025).
Politikus PDI Perjuangan itu menegaskan, redenominasi bukan sekadar menghapus tiga angka nol, melainkan kebijakan besar yang membutuhkan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik.
Rencana penyederhanaan mata uang ini sebelumnya kembali mencuat setelah pembahasan awal di pemerintah dan Bank Indonesia. Namun, berbagai pihak menilai kebijakan tersebut baru bisa dilakukan jika kondisi ekonomi benar-benar stabil.
Pembelajaran dari negara lain
Pengalaman sejumlah negara menjadi rujukan dalam menilai kesiapan Indonesia. Turki tercatat berhasil melakukan redenominasi pada 2005 dengan menghapus enam angka nol dari Lira. Stabilitas ekonomi yang terjaga dan inflasi terkendali di kisaran 8–9% membuat prosesnya berjalan lancar.
Brasil juga sukses setelah enam kali redenominasi bertahap antara 1967 dan 1994. Pada redenominasi terakhir tahun 1994, inflasi turun signifikan dari 2.075% menjadi rata-rata 14% per tahun dalam dua dekade berikutnya.
Sebaliknya, Zimbabwe dan Venezuela menjadi contoh kegagalan. Zimbabwe menghapus total 25 angka nol dalam tiga tahap namun tetap dilanda hiperinflasi hingga 89,7 triliun persen pada 2008. Venezuela mengalami nasib serupa setelah tiga kali redenominasi pada 2008, 2018, dan 2021 yang tak mampu menahan laju inflasi akibat lemahnya kebijakan moneter.
Pemerintah dan BI belum akan terapkan
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa rencana redenominasi tidak menjadi prioritas dalam waktu dekat. Ia menyebut kebijakan tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia.
“Redenom itu kebijakan bank sentral, dan nanti diterapkan sesuai kebutuhan pada waktunya. Tapi tidak sekarang, tidak tahun depan,” kata Purbaya di Surabaya, Senin (10/11/2025), dikutip dari DetikFinance.
Pernyataan serupa disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menilai proses menuju redenominasi masih panjang. Said Abdullah memperkirakan, setelah undang-undang disahkan, proses implementasi penuh dapat memakan waktu hingga tujuh tahun dengan tahap sosialisasi yang intensif mulai 2026.
Bank Indonesia dalam keterangan resminya menjelaskan, redenominasi hanya akan dilakukan jika stabilitas ekonomi, politik, sosial, dan kesiapan teknis telah terpenuhi. BI menegaskan bahwa penyederhanaan nominal tidak akan mengubah daya beli masyarakat atau nilai tukar rupiah terhadap barang dan jasa.

0Komentar