gedung Kementerian Luar Negeri Singapura (Ministry of Foreign Affairs/MFA). | Tangkapan layar Google Maps

Singapura menjatuhkan sanksi keuangan dan larangan masuk terhadap empat pemukim Israel pada Jumat (21/11), merespons dugaan keterlibatan mereka dalam tindakan kekerasan ekstremis terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki. 

Keempat individu tersebut —Meir Mordechai Ettinger, Elisha Yered, Ben-Zion Gopstein, dan Baruch Marzel masuk dalam daftar hitam setelah pemerintah menilai aksi mereka mengganggu prospek solusi dua negara.

Dalam pengumuman resmi, Kementerian Luar Negeri (MFA) menyebutkan bahwa sanksi tersebut mencakup pembekuan aset dan larangan transaksi di yurisdiksi Singapura. Kebijakan ini berlaku seketika dan menjadi salah satu langkah paling tegas negara itu terhadap kelompok pemukim ekstremis, meski Singapura dan Israel memiliki hubungan militer yang dekat sejak 1965.

Kebijakan sanksi dikeluarkan dua bulan setelah Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan menyampaikan kepada parlemen bahwa Singapura akan mengambil tindakan terhadap para pemimpin kelompok pemukim sayap kanan radikal yang terlibat dalam kekerasan di Tepi Barat. 

Pernyataan tersebut muncul menyusul ditandatanganinya rencana pemukiman E1 oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 11 September. Balakrishnan sebelumnya menilai proyek itu berpotensi “memecah-belah Tepi Barat” dan menghambat keberlangsungan negara Palestina, sebagaimana diberitakan Channel NewsAsia dan Times of Israel.

Hubungan Singapura–Israel selama ini relatif stabil, termasuk kerja sama pertahanan sejak masa awal kemerdekaan. Namun dalam dua tahun terakhir, Singapura kerap menyoroti eskalasi kekerasan di Gaza dan wilayah pendudukan. Laporan Asia Sentinel dan arsip PBB menunjukkan Singapura beberapa kali mendukung resolusi yang mengakui negara Palestina pada 2024.

Empat nama yang disanksi dikenal luas sebagai figur utama dari kelompok ekstremis Hilltop Youth dan organisasi anti-Arab Lehava. Ettinger dikaitkan dengan serangan pembakaran 2015 yang menewaskan satu keluarga Palestina di Duma, sementara Yered terlibat dalam penembakan yang menewaskan pemuda Palestina berusia 19 tahun pada 2023. 

Mereka sebelumnya telah dikenai sanksi oleh Uni Eropa, Kanada, dan Australia, sebagaimana tercatat dalam laporan Foundation for Middle East Peace dan berbagai media internasional.

Data dari pemantau PBB menunjukkan kekerasan pemukim meningkat tajam sejak Oktober 2023. Pada paruh pertama 2025 saja, tercatat 757 insiden serangan, naik 13 persen dibanding tahun sebelumnya. Lebih dari 1.076 warga Palestina tewas dan 10.700 lainnya luka-luka akibat operasi militer Israel dan serangan pemukim sejak perang Gaza bergulir.

“Pemerintah Israel perlu menahan tindakan kekerasan pemukim dan memastikan para pelaku bertanggung jawab,” tulis MFA dalam keterangan resminya yang dikutip dari situs pemerintah. 

MFA menegaskan bahwa pemukiman di Tepi Barat ilegal berdasarkan hukum internasional dan Singapura tetap menjadi pendukung kuat solusi dua negara.

Balakrishnan dalam pernyataan terpisah menyebut Singapura “tidak menoleransi tindakan yang memperburuk ketegangan atau menghambat upaya diplomatik.” Ia menegaskan bahwa tindakan yang melibatkan kekerasan terhadap warga sipil tidak memiliki ruang dalam kerangka hukum internasional.

Sanksi tersebut berlaku bagi seluruh individu atau entitas di Singapura yang berpotensi bertransaksi dengan empat pemukim Israel itu. 

Pemerintah tidak menyebutkan adanya dampak langsung pada hubungan bilateral, namun menegaskan prioritas Singapura tetap pada stabilitas kawasan dan penghormatan terhadap aturan internasional.

Hingga berita ini diturunkan, otoritas Israel belum memberikan respons resmi atas keputusan Singapura. Media setempat seperti Times of Israel melaporkan bahwa empat individu yang disanksi juga sedang menghadapi pembatasan di beberapa negara Barat.