Duta Besar Israel untuk PBB Chaim Herzog berpidato di Majelis Umum di New York saat ia merobek salinan Resolusi 3379 pada 10 November 1975. (UN Watch)

Lima puluh tahun telah berlalu sejak Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Resolusi 3379 yang menyatakan ‘Zionisme adalah bentuk rasisme dan diskriminasi rasial.’ Keputusan yang muncul di tengah ketegangan Perang Dingin itu menjadi salah satu momen paling kontroversial dalam sejarah diplomasi dunia.

Lima dekade berlalu, peristiwa itu kembali dibicarakan, bukan hanya karena nilainya sebagai catatan sejarah, tetapi juga karena gema politik dan moralnya masih terasa dalam hubungan antara Israel dan badan-badan PBB hingga sekarang.

Latar dan dinamika geopolitik

Resolusi 3379 disahkan pada 10 November 1975, setelah perdebatan panjang di Majelis Umum yang dipengaruhi oleh blok Soviet dan negara-negara Afrika serta Arab. Dari 139 negara anggota saat itu, 72 mendukung, 35 menolak, dan 32 abstain. Resolusi tersebut mengaitkan gerakan Zionisme, ideologi yang mendorong pembentukan tanah air bagi bangsa Yahudi dengan praktik rasisme.

Langkah ini mencerminkan puncak polarisasi politik global pada masa Perang Dingin. Negara-negara berhaluan sosialis, bersama negara berkembang yang baru merdeka, berupaya mendorong agenda anti-kolonialisme dan anti-apartheid di PBB. Dalam konteks itu, kebijakan Israel terhadap wilayah Palestina dipandang sebagai perpanjangan dari kolonialisme Barat.

Sementara itu, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan sebagian negara Eropa memandang resolusi tersebut sebagai penyimpangan dari mandat PBB. 

Duta Besar AS untuk PBB kala itu, Daniel Patrick Moynihan, menyebut keputusan itu sebagai “kebohongan” dan menyatakan Amerika “tidak akan pernah menerima tindakan keji ini,” seperti dikutip dari arsip pidato resminya yang diunggah Wilson Center.

Israel bereaksi keras. Duta Besar Chaim Herzog, yang kelak menjadi Presiden Israel, menyampaikan pidato tegas di podium Majelis Umum. Dalam pidato yang kini menjadi bagian dari sejarah diplomasi dunia, Herzog menyebut resolusi itu tidak memiliki nilai moral maupun hukum. Ia lalu merobek salinan resolusi tersebut di depan sidang pleno. Aksi itu terekam dalam berbagai arsip, termasuk dokumentasi UN Watch dan Jewish Virtual Library.

Konteks ideologi dan simbol politik

Secara ideologis, resolusi tersebut berakar dari pandangan bahwa Zionisme adalah proyek eksklusif yang meminggirkan rakyat Palestina. Pandangan ini mendapat dukungan kuat dari negara-negara Arab yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam dan gerakan Non-Blok.

Sebaliknya, bagi Israel dan komunitas Yahudi global, Zionisme dipandang sebagai gerakan pembebasan nasional, bukan ekspresi rasisme. Dalam pandangan ini, Zionisme adalah upaya merebut kembali identitas bangsa Yahudi setelah berabad-abad mengalami pengusiran dan diskriminasi, yang berpuncak pada tragedi Holocaust.

Perdebatan itu mencerminkan benturan dua narasi besar, yakni nasionalisme etno-religius yang dianggap sah bagi satu bangsa, dan universalitas prinsip antirasisme yang dianut komunitas internasional. Perbedaan tafsir inilah yang membuat Resolusi 3379 menjadi salah satu keputusan paling sarat muatan politik dalam sejarah PBB.

Pencabutan di era baru

Setelah 16 tahun berlaku, Resolusi 3379 akhirnya dicabut pada 16 Desember 1991 melalui Resolusi 46/86. Pencabutan ini terjadi dalam konteks geopolitik yang sangat berbeda. Uni Soviet runtuh, Perang Dingin berakhir, dan Amerika Serikat menjadi kekuatan dominan global.

Pencabutan itu juga menjadi bagian dari proses menuju Konferensi Perdamaian Madrid 1991, yang mempertemukan Israel dan sejumlah negara Arab untuk pertama kalinya setelah beberapa dekade permusuhan. Dalam dokumen resmi PBB, 111 negara mendukung pencabutan, 25 menolak, dan 13 abstain.

Bagi Israel, pencabutan tersebut dianggap sebagai koreksi moral terhadap kesalahan sejarah. Perdana Menteri Yitzhak Shamir kala itu menyambut keputusan itu dengan mengatakan bahwa “PBB telah memperbaiki aib yang membekas selama 16 tahun.”

Namun, bagi sebagian pengamat dari dunia Arab dan negara berkembang, pencabutan itu mencerminkan bergesernya keseimbangan kekuatan internasional, di mana dominasi politik AS semakin kuat di lembaga multilateral.

Warisan panjang resolusi 3379

Meski sudah dicabut lebih dari tiga dekade lalu, warisan Resolusi 3379 masih terasa dalam dinamika antara Israel dan PBB. Data UN Watch mencatat, pada 2024, Majelis Umum mengesahkan 18 resolusi yang mengkritik Israel, dibanding hanya tujuh untuk seluruh negara lain digabungkan. Dalam rentang 2015 hingga 2023, badan yang sama mengadopsi 154 resolusi terkait Israel dan 71 untuk negara lainnya.

Ketimpangan ini sering dijadikan argumen oleh Israel dan sekutunya untuk menuding adanya bias institusional terhadap negara itu. Pemerintah Israel menilai pola tersebut sebagai bentuk delegitimasi, bukan semata kritik terhadap kebijakan.

Isaac Herzog, Presiden Israel yang juga putra dari Chaim Herzog, menulis refleksi dalam Times of Israel bahwa bayangan dari Resolusi 3379 “masih bergema hingga kini.” Ia menyebut bahwa meski dunia telah berubah, semangat yang mendorong pengesahan resolusi itu masih terlihat dalam cara sebagian pihak menilai Zionisme.

Menurut Herzog, gerakan tersebut bukan ideologi rasis, melainkan “rasa asal dan tujuan bangsa Yahudi di tanah yang terhubung secara abadi dengan namanya.” Ia juga menilai bahwa tuduhan terhadap legitimasi Zionisme meningkat kembali setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan konflik Gaza yang menyusul.

PBB dan tudingan bias terhadap Israel

Sementara itu, di berbagai forum, sejumlah pejabat PBB menegaskan bahwa kritik terhadap Israel tidak bisa disamakan dengan antisemitisme. Namun, badan dunia itu juga menghadapi tekanan dari kedua sisi, yaitu dari negara-negara yang menilai Israel melanggar hukum internasional di wilayah pendudukan, dan dari pihak yang menilai PBB bersikap berat sebelah.

Dalam laporan Security Council Report edisi April 2025, disebutkan bahwa Majelis Umum dan Dewan HAM PBB terus mengeluarkan resolusi yang mengecam kebijakan Israel, terutama terkait permukiman di Tepi Barat dan operasi militer di Gaza. Israel menolak tuduhan itu dan menyebut sebagian pernyataan PBB sebagai “politik moral yang selektif.”

Kritik serupa juga muncul dari Amerika Serikat. Dalam berbagai kesempatan, Washington menyatakan dukungan terhadap Israel sekaligus menekankan pentingnya reformasi di tubuh PBB agar mekanisme pemungutan suara tidak menjadi alat politik kelompok tertentu.

Pandangan internasional

Di luar lingkup diplomatik, pengaruh Resolusi 3379 juga membentuk opini publik internasional tentang Israel dan gerakan Zionisme. Di kalangan aktivis dan akademisi, istilah “anti-Zionisme” masih menjadi wilayah abu-abu, bagi sebagian orang, itu berarti penolakan terhadap kebijakan Israel di wilayah pendudukan, bagi yang lain, itu dinilai sebagai bentuk antisemitisme yang disamarkan.

Editorial Wall Street Journal pada 10 November 2025 menyebut bahwa resolusi tersebut memberikan pukulan pada kredibilitas moral PBB dan memberi perlindungan ideologis bagi gelombang antisemitisme baru.

Sementara kalangan yang lebih kritis terhadap Israel menilai bahwa perdebatan ini seharusnya tidak diarahkan untuk membungkam kritik terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Dalam pandangan mereka, upaya melawan rasisme seharusnya juga mencakup perlawanan terhadap penindasan terhadap rakyat Palestina.

Setengah abad kemudian

Kini, setengah abad setelah Resolusi 3379 disahkan, dunia menghadapi konteks yang berbeda, namun gema perdebatan lamanya masih terdengar. Konflik Israel–Palestina belum menemukan jalan keluar, dan lembaga internasional tetap menjadi arena perebutan narasi.

Peringatan 50 tahun ini menjadi momen refleksi atas bagaimana politik identitas, nasionalisme, dan prinsip hak asasi saling bersinggungan. Ia juga menunjukkan bahwa lembaga internasional seperti PBB tidak kebal dari dinamika politik yang membentuk dunia di sekitarnya.

Sebagaimana disebut dalam pidato Chaim Herzog pada 1975, “tidak ada bangsa yang dapat dipaksa untuk menyerahkan hak moralnya.” Namun, sejarah juga mencatat bahwa keputusan lembaga internasional, betapapun kontroversialnya, sering kali mencerminkan arus besar zamannya.

Lima puluh tahun setelah resolusi itu disahkan dan tiga puluh empat tahun setelah dicabut, warisannya tetap memicu perdebatan, apakah PBB pernah menebus kesalahannya, atau justru terus berjuang menyeimbangkan keadilan dengan politik?

Yang jelas, peristiwa pada 10 November 1975 telah meninggalkan catatan yang panjang tentang bagaimana politik global bisa membentuk makna dari satu kata, "Zionisme" dan menjadikannya simbol dari pertarungan moral yang belum selesai hingga hari ini.