China memanfaatkan dominasi impornya atas bijih besi sebagai instrumen geopolitik baru, termasuk mendorong penggunaan yuan dalam perdagangan global. | Wikipedia, lisensi CC BY-SA 4.0

Selama bertahun-tahun perdagangan komoditas global berjalan dengan ritme yang sama, stabil dan repetitif serta didominasi dolar. Kini perlahan muncul sebuah perubahan dari Beijing, bukan melalui kebijakan mencolok, melainkan lewat langkah senyap namun terarah untuk menjadikan yuan sebagai mata uang utama dalam transaksi bijih besi.

Namun bagi para pelaku industri dan pemerhati geopolitik, ini adalah bagian dari cerita yang lebih besar, tentang bagaimana China mencoba menulis ulang aturan pasar yang selama puluhan tahun dikuasai dolar AS.

Di balik setiap pengiriman bijih besi ke pelabuhan Qingdao atau Dalian, tersimpan manuver geopolitik yang jarang terlihat di permukaan. China, importir bijih besi terbesar di dunia, telah lama mengeluhkan ketergantungannya pada mekanisme harga berbasis dolar. 

Impor senilai lebih dari US$134 miliar menjadi alasan mengapa Beijing merasa berhak memiliki suara lebih besar. Tahun ini, langkah itu berubah menjadi upaya nyata.

Adu tekanan di balik meja nego

Negosiasi kontrak antara pembeli milik negara China dan penambang dari Australia maupun Brasil berlangsung alot. 

Sumber Fastmarkets menggambarkan pembahasan itu “berada dalam kebuntuan” harga dan mata uang penyelesaian menjadi dua titik paling sensitif. Dalam pasar seterstandar bijih besi, dua variabel itu adalah jantung perhitungan keuntungan pemasok.

Di Singapura, seorang pelaku industri yang sudah lebih dari satu dekade memantau lanskap perdagangan bijih besi melihat pola ini sebagai sinyal kebijakan jangka panjang. 

“China ingin mempromosikan yuan di banyak sektor, bukan hanya komoditas,” ujarnya. Nada kalimatnya menunjukkan bahwa ini bukan lagi sekadar eksperimen.

Lalu, datang langkah yang mengejutkan banyak pihak. Pada 30 September 2025, China Mineral Resources Group (CMRG) menghentikan pembelian bijih besi berbasis dolar dari BHP. 

Di permukaan, ini tampak seperti keputusan sepihak yang tajam. Namun sumber industri memperkirakan larangan itu bersifat sementara, sebuah taktik tawar menawar yang ditekan tepat pada saat pasar tidak siap.

Strateginya bekerja.

BHP akhirnya menyerah—sebagian

Tidak butuh waktu lama hingga BHP, salah satu pemasok bijih besi terbesar di dunia, mengambil langkah kompromi. Perusahaan itu setuju menerima penyelesaian dalam yuan untuk 30 persen transaksi spot mulai kuartal IV 2025. 

Nilainya tidak kecil yakni sekitar 88,5 juta ton per tahun dengan nilai pembelian mencapai US$8–10 miliar.

Di balik kesepakatan itu terdapat pekerjaan besar yang harus disiapkan industri keuangan China: integrasi sistem pembayaran lintas negara, fasilitas hedging, hingga penyesuaian pinjaman bank domestik. Semua itu diperlukan agar ekosistem yuan tidak sekadar simbolis, tetapi fungsional.

Sementara itu, pasar merespons. Harga kontrak di Bursa Dalian menguat, mencerminkan ekspektasi bahwa dorongan pembayaran RMB akan semakin kuat.

Risiko nilai tukar dan kualitas bijih

Namun tidak semuanya berjalan mulus. Fastmarkets mencatat kekhawatiran besar dari pemasok terkait risiko nilai tukar. Selama harga acuan global tetap berbasis dolar, perpindahan pembayaran ke yuan menjadikan penambang menanggung fluktuasi kurs yang sebelumnya tidak mereka tanggung.

Ada pula isu teknis yang mengemuka, yakni bagaimana penyesuaian kualitas bijih dihitung? Kadar besi, ukuran butiran, hingga tingkat kontaminan menentukan harga akhir. 

Jika sistem penetapan harga berbasis RMB tidak transparan atau berbeda dengan standar internasional, pemasok khawatir mereka akan berada di posisi yang lebih lemah. Para pelaku industri memahami bahwa ketidakpastian teknis bisa lebih menakutkan daripada risiko nilai tukar.

Bayang-bayang petrodolar

Bagi sejumlah analis, langkah Beijing ini mengingatkan pada bagaimana Amerika Serikat membangun dominasi dolar lewat kerja sama dengan OPEC pada 1970-an. Dengan Petrodolar, dolar mengalir tak hanya lewat perdagangan minyak, tetapi juga melalui reinvestasi ke pasar keuangan AS.

China tampaknya ingin menciptakan efek serupa, versi yang lebih sesuai untuk era geopolitik baru. Bedanya, Beijing tidak memiliki kartel pemasok. Pengaruhnya justru terletak pada sisi permintaan—ia adalah pembeli terbesar, sehingga pemasok mau tidak mau harus menjaga akses pasar.

Ironisnya, posisi tawar itu bisa menjadi tekanan sekaligus peluang.

Lantas, kemana sebenarnya arah ini bergerak?

Bagi pasar, pertanyaan terbesar bukanlah apakah yuan akan digunakan, melainkan sejauh mana dan secepat apa perubahannya terjadi. Tiga perkembangan tampak semakin mungkin:

penggunaan yuan bertambah dari tahun ke tahun melalui kontrak spot,

bursa Dalian mulai membentuk tolok ukur harga yang lebih berpengaruh,

dan pemasok semakin terbiasa dengan mekanisme pembayaran baru.

Namun resistensi tetap ada. Banyak perusahaan global masih melihat dolar sebagai jangkar stabil, sementara RMB masih bergantung pada kebijakan internal China.

Di tengah perubahan ini, cerita tentang bijih besi menjadi lebih dari sekadar perdagangan. Ia berubah menjadi arena perebutan pengaruh finansial global, arena yang perlahan, tetapi pasti, mulai digeser oleh Beijing.

(Hdh)