Nasionalis Jepang, di sebelah kiri, dan nasionalis Tiongkok, di sebelah kanan, memprotes kepulauan yang disengketakan di Laut Cina Timur pada tanggal 18 September 2012. Jepang mengenalnya sebagai Kepulauan Senkaku dan Tiongkok menyebutnya Diaoyu. | MARK RALSTON/RIE ISHII

Ketegangan antara China dan Jepang kembali meningkat setelah pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengenai kemungkinan keterlibatan Tokyo dalam skenario krisis Taiwan. Di Beijing, pernyataan ini dianggap sebagai langkah provokatif yang mengancam prinsip satu China. 

Beijing merespons melalui tekanan diplomatik, pembatasan ekonomi, serta peningkatan patroli maritim di sekitar Kepulauan Senkaku. Eskalasi ini memperlihatkan kerapuhan stabilitas Asia Timur pada saat persaingan strategis China Amerika Serikat berada pada titik paling sensitif dalam satu dekade terakhir.

Benih krisis dan respons Ibu Kota

Hubungan China Jepang sejak lama dibayangi oleh memori Perang Dunia II dan sengketa teritorial yang tak pernah selesai. Senkaku atau Diaoyu menjadi pusat gesekan berulang sejak 2012 ketika kapal penjaga pantai dari kedua negara rutin saling berhadapan. 

Seiring meningkatnya kekuatan militer China dan reformasi pertahanan Jepang, sengketa yang sebelumnya terbatas pada klaim maritim berkembang menjadi perebutan posisi strategis dalam percaturan regional.

Pemerintahan Takaichi berupaya mengirim sinyal bahwa Jepang tidak dapat mengabaikan perkembangan di Selat Taiwan. Kebijakan kemampuan serangan balik yang baru disahkan memperkuat pesan bahwa Jepang ingin memainkan peran lebih aktif dalam pertahanan regional. Beijing menafsirkan perubahan ini sebagai upaya menahan kebangkitan China. 

Selain memanggil duta besar Jepang, China juga mengeluarkan imbauan perjalanan, serta memperketat pengawasan di perairan sengketa. Langkah ekonomi seperti penghentian impor hasil laut Jepang memperlihatkan pola tekanan yang pernah digunakan Beijing dalam kasus THAAD Korea Selatan.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, aktivitas kapal riset China di sekitar ZEE Jepang meningkat. Operasi seperti ini umumnya berkaitan dengan pengumpulan data bawah laut yang penting bagi navigasi kapal selam. 

Jepang menanggapinya dengan mempercepat penguatan basis militer di Nansei Islands yang menghadap Taiwan dan Laut China Timur. Kebijakan ini menjiwai anggapan Beijing bahwa Jepang beranjak dari sikap defensif menuju strategi penyangga bersama Amerika Serikat.

Tekanan Beijing–Tokyo di tengah aliansi AS

Persaingan China Jepang terjadi di tengah rivalitas China Amerika Serikat yang terus melebar. Washington menegaskan kembali bahwa Senkaku termasuk dalam cakupan perjanjian keamanan dengan Tokyo. 

Setiap ketegangan baru mendorong peningkatan koordinasi intelijen dan latihan gabungan. Bagi Beijing, pola ini menguatkan persepsi bahwa lingkungan strategisnya sedang dibatasi oleh sistem aliansi.

Di tingkat kawasan, negara negara Asia Timur dan ASEAN mencermati perkembangan ini karena rute pelayaran di Laut China Timur merupakan jalur utama perdagangan regional. Gangguan terhadap stabilitas maritim dapat berdampak pada logistik energi dan manufaktur. 

Jepang mengalami tekanan di sektor pariwisata setelah perjalanan dari China menurun tajam. Perusahaan Jepang yang bergantung pada fasilitas produksi di China juga menghadapi tantangan terkait inspeksi, kepatuhan, dan kelancaran pasokan komponen.

Pakar hubungan internasional menilai respons China konsisten dengan strategi tekanan komprehensif yang melibatkan diplomasi, ekonomi, dan operasi maritim. 

Analis pertahanan Jepang menyoroti risiko insiden tak disengaja antara kapal penjaga pantai atau pesawat di wilayah sengketa. Dalam kondisi hubungan yang rapuh, insiden teknis yang kecil dapat berubah menjadi krisis yang lebih luas.

Eskalasi Timur Asia dan posisi Indonesia

Dalam jangka pendek, tekanan ekonomi paling terasa pada pariwisata Jepang serta saham perusahaan dengan eksposur besar ke pasar China. Risiko meningkat jika patroli maritim kedua negara berada terlalu dekat tanpa mekanisme komunikasi darurat yang memadai. Beberapa analis menyebut skenario dua arah. 

Pertama, stabilisasi bertahap jika kedua pihak menahan retorika publik. Kedua, persaingan jangka panjang yang memperkuat perlombaan militer di sekitar Taiwan dan Laut China Timur. Ketiga, insiden tak disengaja yang dapat memicu aksi balasan terbatas.

Bagi Indonesia, dampak tidak bersifat langsung namun sangat relevan. Japan dan China merupakan dua mitra ekonomi utama Indonesia. Ketegangan berkepanjangan dapat mengganggu rantai pasok elektronik, otomotif, dan logistik regional. Stabilitas Laut China Timur juga penting bagi kelancaran perdagangan Indonesia Jepang. 

Dari sudut geopolitik, dinamika ini menegaskan pentingnya diplomasi Indonesia untuk mempertahankan posisi nonblok serta memperkuat peran ASEAN sebagai penyeimbang dalam situasi regional yang kian berlapis.