IAEA menuntut Iran membuka akses penuh inspeksi setelah lima bulan tanpa verifikasi stok uranium 60%, memicu ketegangan baru soal program nuklir Teheran. | AFP/Jod Klamar

Dewan Gubernur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memberikan suara 19–3 pada Kamis di Wina untuk menuntut Iran segera membuka akses penuh bagi para inspektur nuklir. Resolusi yang didorong Prancis, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat itu muncul setelah lima bulan tanpa verifikasi atas cadangan uranium Teheran, termasuk 440–490 kilogram uranium yang telah diperkaya hingga 60 persen, ambang teknis menuju bahan tingkat senjata. 

Rusia, Tiongkok, dan Niger menolak resolusi, sementara 12 negara memilih abstain. Laporan Reuters menyebutkan bahwa Iran kini menyimpan lebih dari sepuluh kali lipat batas stok yang pernah diatur dalam kesepakatan nuklir 2015.

Menurut laporan internal IAEA yang dikutip sejumlah media internasional, badan pengawas tidak bisa mengakses tujuh fasilitas nuklir Iran sejak serangan Israel dan AS dalam konflik 12 hari pada Juni menghancurkan beberapa lokasi utama. 

Beberapa fasilitas yang rusak itu seharusnya segera dilaporkan melalui special report sesuai kewajiban Safeguards Agreement, namun hingga kini Iran belum menyerahkan laporan lengkap. 

IAEA menyebut kehilangan continuity of knowledge atas cadangan uranium Iran sebagai salah satu risiko terbesar, karena konsistensi verifikasi material uranium tingkat tinggi biasanya dilakukan secara berkala dan tidak boleh terputus.

“Kurangnya akses Badan terhadap material nuklir di Iran selama lima bulan berarti verifikasinya sudah terlambat,” demikian pernyataan resmi IAEA. Dalam laporan terpisah, AP menyebut badan itu belum dapat memastikan lokasi dan jumlah uranium mendekati tingkat senjata sejak Juni.

Pemerintah Iran langsung menolak keputusan Dewan Gubernur. Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi mengatakan Teheran menganggap resolusi itu “ilegal dan tidak beralasan”, serta menyatakan kesepahaman Kairo yang disepakati September lalu dengan IAEA tidak lagi berlaku. 

Duta Besar Iran untuk IAEA, Reza Najafi, menyebut langkah negara-negara Barat sebagai upaya mengkompensasi kegagalan mekanisme snapback dan mengabaikan serangan terhadap fasilitas Iran. 

Parlemen Iran bahkan sebelumnya telah mengesahkan rancangan undang-undang yang memungkinkan penghentian penuh kerja sama dengan IAEA apabila kondisi keamanan fasilitas nuklir tidak terpenuhi.

Di sisi lain, para diplomat Barat memperingatkan bahwa Iran sedang memulihkan produksi rudal balistik menggunakan metode lama setelah peralatan canggihnya hancur dihantam serangan Israel. 

Saat ini prioritas Iran adalah membangun kembali kemampuan rudalnya, dengan ekspektasi peluncuran simultan 500–1.000 rudal dalam konfrontasi berikutnya. Data AP dan Reuters menambahkan bahwa aktivitas pendukung rudal Iran meningkat setelah serangan Juni, sejalan dengan kebijakan pertahanan Iran yang menempatkan rudal sebagai pilar utama deterrence.

Seorang diplomat Barat yang dikutip The Yeshiva World mengatakan situasi sangat rawan salah perhitungan. “Bentrokan singkat dan keras bisa meletus jika Iran salah membaca niat Israel,” ujarnya kepada wartawan.

Sejauh ini belum ada kepastian kapan inspektur IAEA dapat kembali masuk ke fasilitas-fasilitas Iran. Tanpa akses langsung, badan pengawas tidak dapat memastikan lokasi, jumlah, maupun tingkat pengayaan stok uranium Iran, termasuk cadangan tingkat tinggi yang dianggap sensitif. 

IAEA juga mencatat adanya pergerakan di sekitar stok uranium 60 persen, meski tidak ada bukti pengayaan lebih lanjut menuju 90 persen.

Ketegangan terus meningkat di tengah kekhawatiran bahwa hilangnya pengawasan selama berbulan-bulan dapat melemahkan sistem pengamanan internasional di bawah Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, sementara negara-negara E3 menegaskan bahwa pelanggaran berulang Iran terhadap batas pengayaan dan stok uranium masih menjadi isu utama dalam sidang Dewan Gubernur.