![]() |
| Tumpukan logam rongsokan. Bahan yang dibuang diurutkan dan disiapkan untuk daur ulang. | Depositphotos |
Arus limbah aluminium global kini bergerak seperti komoditas strategis yang diperebutkan negara besar. Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari satu juta metrik ton rongsokan aluminium Eropa “bocor” ke pasar internasional, memicu kekhawatiran bahwa bahan baku penting bagi transisi energi justru mengalir keluar saat permintaan daur ulang meningkat tajam.
Perubahan ini tidak terlepas dari penurunan produksi aluminium primer di Eropa, turun sekitar 25% sejak 2011 di tengah biaya energi yang melonjak. Industri beralih pada aluminium sekunder yang hanya membutuhkan sekitar 5% energi dibanding produksi primer. Namun ketersediaan limbah justru menipis karena lebih menarik dijual ke luar negeri.
Komisi Eropa tengah menyiapkan regulasi pembatasan ekspor limbah aluminium, yang ditargetkan berlaku pada 2026. Kebijakan itu disebut akan menjaga keseimbangan rantai nilai dan tetap sesuai kewajiban internasional.
“Tujuan kami adalah mempertahankan material strategis di dalam Eropa,” ujar Wakil Presiden Eksekutif Uni Eropa, Maros Sefcovic seperti dikutip dari Reuters. European Aluminium bahkan mendesak bea ekspor sekitar 30% untuk menahan arus keluar.
Di sisi lain, kebijakan tarif Amerika Serikat membuka celah baru. Tarif tinggi atas aluminium primer dan tarif rendah untuk scrap menciptakan arbitrase yang mendorong rongsokan Eropa mengalir ke pasar AS.
The Aluminum Association menyebut fenomena ini sebagai ancaman terhadap pasokan domestik. “Kebocoran pasokan limbah berkualitas tinggi perlu dikendalikan,” sebut kelompok industri itu dalam pernyataan publik.
Situasi semakin rumit ketika tingkat daur ulang kaleng aluminium AS hanya sekitar 43% pada 2023, jauh di bawah rata-rata global 75%. Industri khawatir bahan baku yang seharusnya mendukung peningkatan kapasitas justru mengalir ke luar negeri atau langsung diserap pasar Asia.
China berada di pusat tren ini. Sejak 2020, Beijing melonggarkan aturan impor limbah aluminium dan memacu kapasitas daur ulang hingga 15 juta ton per tahun pada 2027. Negara itu memanfaatkan jaringan pasokan yang melewati Malaysia dan Thailand sebagai titik transit. “China bergerak cepat untuk memimpin aluminium sekunder,” menurut catatan analis regional.
Arus limbah kualitas campuran seperti Zorba atau Twitch paling besar mengalir ke negara-negara Asia, karena Eropa belum memiliki kapasitas pemrosesan penuh untuk memilah dan memurnikan scrap jenis tersebut. Akibatnya, beberapa tungku daur ulang di Eropa diperkirakan beroperasi di bawah kapasitas, bahkan 15% di antaranya tidak aktif karena kekurangan pasokan.
Persaingan ini memunculkan kekhawatiran potensi perang dagang baru berbasis limbah logam. Di tengah tren proteksionisme sumber daya, upaya menahan aliran rongsokan berisiko memicu gesekan diplomatik, baik antara sesama negara Barat maupun dengan China yang agresif membangun dominasi sektor sekunder.
Bagi negara berkembang dengan industri aluminium yang tumbuh, termasuk Asia Tenggara, tren ini membuka peluang sekaligus risiko. Pasar bisa menjadi tujuan ekspor limbah dari Barat, namun juga menghadapi pengetatan regulasi yang mengubah arus perdagangan secara tiba-tiba.
Di Indonesia, persaingan global atas limbah aluminium membuka peluang strategis bagi industri dalam negeri. Holding BUMN MIND ID, melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM), tengah meningkatkan kapasitas produksi aluminium dari 275.000 ton per tahun menjadi 900.000 ton pada 2029.
Di hilir, anak usaha INALUM, PT Indonesia Aluminium Alloy (IAA), mulai memproduksi billet aluminium daur ulang, dengan sekitar 70% bahan baku berasal dari scrap. Kapasitas awal IAA dirancang mencapai 30.000 ton per tahun secara bertahap, menandai langkah awal pengembangan aluminium sekunder di Indonesia.
Inisiatif daur ulang ini sejalan dengan tren global, karena scrap aluminium hanya membutuhkan sekitar 5% energi dibanding produksi primer. Hal ini menjadi peluang penting bagi efisiensi energi dan dekarbonisasi industri nasional.
Namun, tantangan tetap ada. Ketersediaan scrap berkualitas tinggi bisa terpengaruh oleh fluktuasi arus limbah global maupun kebijakan proteksionis di negara ekspor. Gangguan pasokan dapat menekan operasi hilir seperti IAA, yang sangat bergantung pada bahan baku scrap.
Di sisi lain, regulasi domestik mulai mendukung penguatan rantai pasok. MIND ID dan INALUM membangun ekosistem hilirisasi terintegrasi, mencakup refinery alumina dan smelter aluminium, untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat kedaulatan industri nasional.
Jika Indonesia mampu menyerap limbah aluminium global dan mengolahnya menjadi produk sekunder, negara ini berpotensi memperkuat posisi dalam rantai pasok aluminium sekunder di pasar dunia. Namun, risiko gangguan pasokan menuntut strategi mitigasi, seperti diversifikasi sumber scrap dan kerja sama internasional.
Sejauh ini, pergerakan kebijakan di Eropa dan AS menunjukkan bahwa limbah aluminium tidak lagi dipandang sebagai residu tak bernilai. Ia menjadi bagian dari strategi industri, keamanan pasokan, dan persaingan geopolitik yang terus berkembang, dengan arah yang masih akan ditentukan oleh keputusan negara-negara besar dalam beberapa tahun ke depan.

0Komentar