Uang kertas Tiongkok, yang mata uang resminya dikenal sebagai Renminbi (RMB) dengan satuan dasar yuan. | Unsplash/Timon Studler


Indonesia mulai mengoperasikan instrumen valuta asing baru berbasis yuan Tiongkok pada pekan ini, langkah yang disebut Bank Indonesia (BI) sebagai bagian dari penguatan transaksi mata uang lokal dan pengurangan ketergantungan pada dolar AS. 

Kebijakan tersebut diumumkan Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, pada 21 November di Jakarta, menyusul meningkatnya transaksi yuan–rupiah dan perluasan Cross-Border Interbank Payment System (CIPS) milik Tiongkok.

Sistem pembayaran lintas negara CIPS kini terhubung dengan lebih dari 4.800 bank di 185 negara. Perluasan itu menjadikannya alternatif fungsional bagi jaringan SWIFT yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung keuangan global. 

Sejumlah laporan, termasuk dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura pada 2024, menyebutkan bahwa uji coba transaksi Hong Kong–Abu Dhabi melalui CIPS hanya membutuhkan tujuh detik, dengan efisiensi biaya mencapai 98 persen.

Berbeda dengan SWIFT yang hanya berperan sebagai jaringan pesan, CIPS menangani kliring dan penyelesaian dana secara real-time namun terbatas pada mata uang yuan. 

Meski demikian, sekitar 80 persen transaksinya masih memanfaatkan infrastruktur SWIFT, terutama untuk bank yang belum memiliki koneksi langsung ke sistem Tiongkok.

Indonesia dan dorongan penggunaan Yuan

Dalam keterangan resminya, Destry menjelaskan bahwa instrumen baru BI memungkinkan operasi moneter dan transaksi pasar berjangka dalam yuan–rupiah. 

“Ini tentu akan mengurangi tekanan pada dolar AS,” ujar Destry. Ia menambahkan, volume transaksi mata uang lokal Indonesia–Tiongkok telah mencapai sekitar US$1 miliar per bulan.

Langkah tersebut mengikuti penerbitan obligasi negara berdenominasi yuan pertama Indonesia pada Oktober lalu senilai sekitar US$842 juta, yang diserap melalui pasar keuangan Tiongkok. Sejauh ini, pemerintah menilai diversifikasi pembiayaan lintas mata uang sebagai strategi mitigasi risiko nilai tukar dan perluasan basis investor.

Rusia ikut dorong likuiditas yuan

Di sisi lain, Rusia dijadwalkan menerbitkan obligasi pemerintah berdenominasi yuan pada 8 Desember, dengan nilai potensial hingga US$5 miliar dan tenor tiga hingga tujuh tahun. 

Otoritas Rusia menyebut penerbitan ini sebagai sarana penempatan likuiditas yuan yang kian besar akibat peningkatan perdagangan energi dengan Tiongkok, yang mencapai US$245 miliar pada 2024.

Tensi perdagangan dan posisi BRICS

Momentum de-dolarisasi ini berlangsung di tengah ancaman tarif 100 persen yang sempat dilontarkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap negara-negara BRICS yang dinilai “mendorong penggantian dolar” dalam perdagangan internasional. Pernyataan tersebut pertama kali disampaikan setelah kemenangan Trump pada November 2024 dan diulangi kembali usai pelantikannya pada Januari 2025, menurut laporan Politico dan Reuters.

BRICS kini mencakup Indonesia, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab yang mewakili sekitar 36 persen PDB global. Dalam KTT Rio de Janeiro pada Juli 2025, deklarasi bersama 126 poin menekankan penguatan multilateralisme dan kerja sama Global South, tanpa menyebut langsung agenda de-dolarisasi.

Platform pembayaran BRICS Pay, yang digagas sebagai sistem perpesanan terdesentralisasi serupa SWIFT, masih dalam tahap pengembangan dan ditargetkan lebih siap digunakan pada akhir 2025 atau 2026.

Perubahan lanskap sistem keuangan global

Sejak intensifikasi sanksi finansial AS terhadap sejumlah negara, penguatan penggunaan yuan dalam perdagangan dan pembiayaan lintas batas menjadi perhatian utama negara-negara BRICS. 

Indonesia, yang bergabung dalam perluasan keanggotaan 2024–2025, sejauh ini memilih pendekatan pragmatis dengan memperluas local currency transaction (LCT) dan diversifikasi instrumen moneter.

Otoritas BI menyebut langkah ini sebagai bagian dari stabilisasi pasar valas domestik sekaligus penyesuaian terhadap lanskap keuangan global yang mengalami fragmentasi sistem pembayaran.