![]() |
| Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. | REUTERS |
China mengajukan protes resmi kepada Malaysia dan Kamboja atas perjanjian dagang yang kedua negara itu tanda tangani dengan Amerika Serikat pada Oktober lalu, dengan menyatakan “keprihatinan serius” terhadap klausul yang dinilai dapat memaksa mereka mengikuti kebijakan keamanan Washington.
Protes itu disampaikan dalam pertemuan pejabat Kementerian Perdagangan China dengan mitra mereka dari Malaysia di Beijing pada Selasa, serta dalam komunikasi serupa kepada Kamboja pada pekan sebelumnya.
Kementerian Perdagangan China menyebutkan bahwa inti keberatan Beijing adalah ketentuan yang kerap disebut sebagai poison pill atau tripwire. Klausul tersebut memungkinkan AS mengakhiri kerja sama jika Malaysia atau Kamboja meneken perjanjian dagang dengan negara yang dianggap mengancam kepentingan utama AS.
Teks perjanjian Malaysia–AS mencantumkan bahwa Washington berhak menghentikan perjanjian bila Kuala Lumpur menandatangani perjanjian perdagangan bebas bilateral baru atau perjanjian ekonomi preferensial dengan negara yang dipandang berisiko bagi keamanan AS.
Analisis pakar perdagangan internasional Simon Evenett menyebut ketentuan ini berbeda dari preseden dalam Perjanjian Amerika Serikat–Meksiko–Kanada (USMCA). Menurut dia, klausul di perjanjian Malaysia dan Kamboja menggunakan “bahasa pembatasan pihak ketiga yang lebih luas” dan memiliki perlindungan prosedural yang minimal.
Selain itu, kedua negara diwajibkan mengikuti pembatasan perdagangan, kontrol ekspor, dan sanksi AS terkait teknologi sensitif, serta mencegah perusahaan domestik membantu negara lain menghindari aturan tersebut.
Sengketa ini menyoroti posisi sulit negara-negara Asia Tenggara di tengah rivalitas dua ekonomi terbesar dunia. China telah menjadi mitra dagang terbesar Malaysia selama 15 tahun berturut-turut, sementara pada awal 2025 Malaysia juga menjadi negara mitra BRICS. Namun ancaman tarif tinggi dari Presiden Donald Trump mendorong negara-negara kawasan untuk memberikan konsesi lebih besar kepada Washington.
Perjanjian Malaysia–AS diteken saat kunjungan Trump ke Kuala Lumpur pada Oktober, di mana AS memberikan pengecualian terhadap sejumlah barang dari tarif timbal balik 19 persen sebagai imbalan komitmen keamanan tertentu. Kamboja sepakat menghapus seluruh tarif untuk produk pangan, pertanian, dan industri asal AS dalam kerangka kesepakatan serupa.
Kementerian Investasi, Perdagangan dan Industri Malaysia memberikan “klarifikasi poin demi poin” atas pertanyaan yang disampaikan Beijing. Dalam keterangan resminya yang dikutip media pemerintah China, Malaysia menegaskan pihaknya menghargai kemitraan jangka panjang dengan China dan selalu terbuka membahas isu yang menjadi perhatian bersama.
Kepada Bloomberg News, pejabat Malaysia menyebut kementerian “terbuka untuk mendiskusikan kepentingan bersama dengan seluruh mitra dagang, termasuk China”. Pernyataan senada juga disampaikan Kamboja, yang menurut laporan media lokal telah menerima pemberitahuan resmi dari Beijing mengenai kekhawatiran tersebut.
Sengketa diplomatik ini muncul ketika negara-negara Asia Tenggara terus menyeimbangkan hubungan ekonomi dengan China dan tekanan kebijakan perdagangan dari Washington, terutama setelah gelombang tarif baru era Trump kembali membentuk ulang dinamika dagang kawasan.

0Komentar