Pemerintah Jepang tengah mengkaji perluasan kategori pengeluaran “terkait pertahanan” untuk mencakup proyek-proyek ruang angkasa dan inisiatif infrastruktur yang dikelola lembaga di luar Kementerian Pertahanan.
Kebijakan ini dibahas di tengah tekanan Amerika Serikat agar Tokyo meningkatkan porsi belanja militernya, menurut laporan Kyodo News pada Rabu (6/11).
Perdana Menteri Sanae Takaichi, yang baru dilantik pada 21 Oktober, sebelumnya berjanji mempercepat target belanja pertahanan Jepang menjadi 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dua tahun lebih cepat, dari tahun fiskal 2027 menjadi 2025. Komitmen itu ia sampaikan dalam pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump di Tokyo pada 28 Oktober.
Meskipun Takaichi menyebut tidak ada pembahasan angka spesifik dalam pertemuan tersebut, Reuters melaporkan pemerintahan Trump secara tertutup mendorong Jepang menaikkan anggaran pertahanan hingga 3,5 persen dari PDB.
Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menyambut baik langkah Tokyo itu, menyebutnya “luar biasa” dan berharap realisasinya berlangsung cepat, saat bertemu Menteri Pertahanan Jepang Shinjiro Koizumi pada 29 Oktober.
Dalam kajian pemerintah, perluasan definisi pengeluaran pertahanan dapat mencakup proyek yang memperkuat kesiapan keamanan nasional, seperti pengembangan teknologi ruang angkasa dan penerbangan, perlindungan infrastruktur penting, hingga keamanan siber.
Saat ini, pengeluaran terkait pertahanan Jepang ditetapkan sekitar 1,5 triliun yen (sekitar Rp156 triliun) untuk tahun fiskal yang dimulai April lalu, mencakup penelitian dan pengembangan, infrastruktur publik, kerja sama internasional, dan operasi Penjaga Pantai Jepang.
Menurut laporan Kyodo News dan The Tribune India, pemerintah juga menimbang memasukkan perlindungan fasilitas energi, jaringan transportasi dan komunikasi, pembuatan kapal, serta kegiatan kepolisian yang melindungi informasi sensitif dan teknologi canggih dalam kategori baru ini.
Infrastruktur sipil seperti bandara dan pelabuhan dapat dihitung sebagai aset pertahanan karena berpotensi digunakan Pasukan Bela Diri dalam kondisi darurat.
Kebijakan ini muncul saat Jepang menghadapi peningkatan ketegangan di kawasan Asia Timur. Takaichi menggambarkan situasi keamanan saat ini sebagai “yang paling kompleks sejak akhir Perang Dunia II”.
Untuk tahun fiskal berjalan, Tokyo mengalokasikan sekitar 8,5 triliun yen (sekitar Rp885 triliun) untuk pertahanan, dengan rencana lima tahun senilai total 43 triliun yen hingga Maret 2028.
Pemerintah berencana memperbarui dokumen kebijakan keamanan nasional pada akhir 2026, mempercepat siklus pembaruan dari sepuluh tahun menjadi empat tahun.
Menurut analisis Tokyo Review, langkah tersebut mencerminkan kekhawatiran Jepang terhadap peningkatan aktivitas militer China, uji coba rudal Korea Utara, serta kedekatan strategis Beijing, Pyongyang, dan Moskwa.

0Komentar