Ratusan ribu pria ultra-Ortodoks memadati pusat Yerusalem dalam aksi protes menolak kebijakan wajib militer Israel. (AFP/Ahmad Gharibli)

Sekitar 200.000 pria Yahudi ultra-Ortodoks turun ke jalan di Yerusalem pada Kamis (30/10) dalam salah satu demonstrasi keagamaan terbesar dalam sejarah Israel. Massa yang memadati jalan utama ibu kota itu memprotes upaya pemerintah menghapus pembebasan wajib militer yang telah mereka nikmati selama puluhan tahun.

Aksi yang disebut penyelenggara sebagai “pawai sejuta orang” ini melumpuhkan akses menuju pintu masuk Yerusalem. Lautan massa berpakaian hitam membawa poster bertuliskan penolakan terhadap wajib militer, bahkan menyatakan lebih rela dipenjara ketimbang bergabung dengan militer.

Unjuk rasa yang berlangsung damai berubah tragis ketika seorang remaja tewas setelah jatuh dari lokasi konstruksi di sekitar area demonstrasi. Setelah acara utama berakhir, ratusan pria ultra-Ortodoks sempat bentrok dengan Polisi Perbatasan Israel yang berusaha membubarkan kerumunan yang masih bertahan di lokasi.

Krisis politik makin dalam

Ledakan protes ini memperdalam krisis politik yang sudah lama menghantui koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Dua partai ultra-Ortodoks, Shas dan United Torah Judaism (UTJ), telah menarik diri dari koalisi setelah pemerintah gagal menetapkan undang-undang permanen yang menjamin pengecualian wajib militer bagi para siswa yeshiva—pusat studi agama Yahudi.

Keluarnya kedua partai itu membuat Netanyahu kini hanya menguasai 60 dari 120 kursi di Knesset, meninggalkan pemerintahannya di ujung tanduk. Situasi ini memicu spekulasi kemungkinan pemilu dini jika kebuntuan tak segera diatasi.

“Sekarang, mereka yang menolak masuk militer dibawa ke penjara militer,” ujar Shmuel Orbach, salah satu pengunjuk rasa, dikutip dari Reuters (30/10). “Itu tidak masalah. Tapi kami ini negara Yahudi. Anda tidak bisa melawan Yudaisme di negara Yahudi itu tidak akan berhasil.”

Sementara itu, Partai Shas dalam pernyataannya yang dikutip Times of Israel menegaskan bahwa keputusan keluar dari jabatan pemerintahan adalah “langkah politik yang perlu untuk melindungi hak-hak komunitas Haredi dalam mempertahankan tradisi belajar Taurat.”

Kekurangan personel militer

Aksi besar-besaran ini datang di tengah kekurangan tenaga militer yang dialami Israel. Angkatan Pertahanan Israel (IDF) disebut membutuhkan sekitar 12.000 personel tambahan untuk menghadapi tekanan dari operasi militer di Gaza dan Lebanon.

Menurut laporan The New York Times (24/8), dari sekitar 80.000 pria ultra-Ortodoks berusia 18–24 tahun yang memenuhi syarat wajib militer, hanya 2.940 orang yang benar-benar mendaftar meski telah menerima surat panggilan. Upaya penegakan aturan ini juga memicu lebih dari 870 penangkapan terhadap penghindar wajib militer dalam beberapa bulan terakhir.

Pengecualian bagi komunitas Haredi sebenarnya sudah berlaku sejak 1948, sebagai bentuk perlindungan bagi pelajar Taurat pasca-Holocaust. Namun, Mahkamah Agung Israel pada tahun lalu memutuskan bahwa kebijakan pengecualian menyeluruh itu tidak memiliki dasar hukum, dan memerintahkan pemerintah untuk mulai merekrut pria ultra-Ortodoks ke dinas militer.

Yerusalem lumpuh

Pemerintah kota Yerusalem menutup beberapa jalan utama dan menghentikan layanan transportasi umum selama aksi berlangsung. Sedikitnya 2.000 petugas polisi diterjunkan untuk mengamankan lokasi demonstrasi. Beberapa sekolah di wilayah sekitar juga diliburkan sementara karena akses jalan yang tertutup massa.

Laporan Times of Israel menyebutkan, arus kendaraan dari arah Tel Aviv menuju Yerusalem sempat macet total selama lebih dari dua jam. Pemerintah kota mengimbau warga untuk menghindari pusat kota dan bekerja dari rumah jika memungkinkan.

“Ini demonstrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam ukuran dan dampaknya,” ujar seorang pejabat kepolisian yang dikutip Al Jazeera (30/10). “Kami menghormati hak mereka untuk berdemonstrasi, tetapi keselamatan publik tetap prioritas utama.”

Ancaman bagi stabilitas pemerintah

Krisis wajib militer ini kini menjadi ujian terbesar bagi stabilitas politik Netanyahu. Dengan dua mitra koalisi utama hengkang, posisi perdana menteri yang telah menjabat sejak akhir 2022 itu semakin goyah.

Para analis menilai, tanpa dukungan Shas dan UTJ, Netanyahu akan kesulitan mengesahkan anggaran atau kebijakan penting lainnya di Knesset. Jika kebuntuan terus berlanjut, bukan tak mungkin Israel kembali menghadapi pemilu dini ke-6 dalam tujuh tahun terakhir.

Sementara itu, kelompok Haredi menegaskan akan terus melakukan protes hingga pemerintah menjamin perlindungan hukum penuh bagi pengecualian wajib militer bagi pelajar yeshiva.

“Kami tidak menolak negara,” kata salah satu pemimpin komunitas dalam orasinya, dikutip Al-Monitor. “Kami hanya menolak dipaksa melanggar hukum agama kami.”

Demonstrasi yang mengguncang Yerusalem itu menjadi simbol ketegangan lama antara identitas agama dan negara di Israel.