![]() |
| Hilirisasi batu bara menjadi DME digencarkan untuk menekan ketergantungan Indonesia pada LPG impor. Program ini dinilai strategis, tapi menyimpan tantangan ekonomi dan lingkungan. (Dok. PTBA) |
Pemerintah menargetkan proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) mulai beroperasi pada awal 2026. Langkah ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap LPG impor sekaligus memanfaatkan kekayaan batu bara yang melimpah.
Seperti diketahui, Indonesia termasuk salah satu negara dengan cadangan batu bara terbesar di dunia. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, cadangan batu bara terbukti mencapai sekitar 39 miliar ton dengan total sumber daya lebih dari 100 miliar ton.
Dengan tingkat produksi tahunan sekitar 600 juta ton, cadangan tersebut diperkirakan masih dapat bertahan lebih dari enam dekade. Sebagian besar berada di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan, wilayah yang juga menjadi lokasi utama proyek DME nasional.
Tapi rencana besar itu juga menimbulkan tanda tanya. Benarkah DME mampu menjadi solusi jangka panjang bagi kebutuhan energi nasional, atau justru menghadirkan persoalan baru di kemudian hari?
Ketergantungan impor dan janji DME
Selama bertahun-tahun, Indonesia mengandalkan LPG impor untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan industri kecil. Data Kementerian ESDM menunjukkan, pada 2024 impor LPG mencapai sekitar 6,9 juta ton atau sekitsr 77% total kebutuhan nasional, sementara produksi dalam negeri hanya mampu menutupi sebagian kecil dari total konsumsi nasional yang lebih dari 8 juta ton per tahun.
Kondisi ini membuat neraca perdagangan energi tertekan dan ketergantungan pada pemasok luar negeri meningkat. Pemerintah kemudian mencari cara untuk mengurangi beban impor, dan hilirisasi batu bara dipilih sebagai salah satu solusinya.
Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, digadang-gadang sebagai proyek percontohan nasional. Pemerintah menargetkan produksi perdana dimulai pada awal 2026, dengan kapasitas yang diharapkan mampu menggantikan sekitar 1 juta ton LPG per tahun pada tahap awal.
Secara teknis, DME memiliki karakteristik pembakaran yang mirip LPG dan bisa digunakan untuk memasak setelah melalui sedikit penyesuaian pada peralatan rumah tangga. Di atas kertas, bahan bakar ini dianggap sebagai alternatif yang cukup siap menggantikan LPG.
Teknologi siap, tapi ongkos besar
Proses pembuatan DME dari batu bara dilakukan melalui gasifikasi, yaitu mengubah batu bara menjadi gas sintesis (campuran karbon monoksida dan hidrogen), yang kemudian diolah menjadi metanol dan selanjutnya dikonversi menjadi DME.
Teknologi ini sudah digunakan di beberapa negara, seperti Cina, untuk mengurangi ketergantungan impor gas alam. Namun, investasi awal untuk membangun pabrik semacam ini sangat besar.
Untuk skala besar, satu fasilitas gasifikasi bisa memerlukan biaya hingga US$ 2–3 miliar, tergantung kapasitas dan kompleksitas instalasi. Selain itu, dibutuhkan infrastruktur pendukung seperti jaringan distribusi, fasilitas penyimpanan, dan sistem pengisian ulang silinder yang berbeda dari LPG.
Keberhasilan proyek semacam ini sangat tergantung pada harga batu bara domestik dan dukungan pemerintah. Jika harga batu bara naik atau subsidi energi berkurang, maka biaya produksi DME berpotensi lebih tinggi dibandingkan LPG impor.
Dengan kata lain, hilirisasi ini tidak otomatis menghemat anggaran negara tanpa adanya skema insentif, jaminan pasar, dan dukungan fiskal yang konsisten. Biaya investasi yang besar juga membuat proyek ini sulit menarik minat swasta tanpa kepastian ekonomi jangka panjang.
Masalah lingkungan yang belum dijawab
Di luar tantangan ekonomi, ada persoalan besar lain yang sering dikhawatirkan. Yaitu, dampak lingkungan.
DME memang lebih bersih ketika dibakar karena tidak menghasilkan jelaga sebanyak minyak tanah atau diesel, tetapi proses produksinya sangat intensif energi dan menghasilkan emisi karbon yang tinggi.
Beberapa studi memperkirakan bahwa emisi gas rumah kaca dari produksi DME berbasis batu bara bisa dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan LPG impor, jika dihitung dari proses hulu hingga penggunaan akhir.
Dengan kondisi tersebut, proyek ini berpotensi meningkatkan total emisi nasional meskipun berhasil menekan impor energi. Hal ini juga dapat memperlambat langkah Indonesia menuju target net zero emission 2060.
Selain emisi karbon, proses gasifikasi membutuhkan banyak air dan menghasilkan limbah kimia yang harus dikelola dengan ketat agar tidak mencemari lingkungan sekitar pabrik. Di daerah tambang, risiko kerusakan ekosistem dan peningkatan aktivitas penambangan juga menjadi perhatian tambahan.
Menimbang arah transisi energi Indonesia
Pemerintah berpendapat bahwa proyek DME merupakan tahapan peralihan menuju kemandirian energi nasional, bukan langkah akhir dari transisi energi. Dalam jangka pendek, DME diharapkan mampu menekan impor LPG, sementara upaya dekarbonisasi dilakukan secara bertahap di sektor lain.
Namun banyak pengamat menilai pendekatan yang lebih realistis adalah strategi campuran. Misalnya, meningkatkan produksi gas domestik, memperluas jaringan gas kota, memperkenalkan kompor listrik di wilayah dengan pasokan listrik stabil, serta mengembangkan DME dari bahan baku rendah karbon seperti biomassa.
Strategi semacam ini lebih seimbang karena menjaga pasokan energi domestik tanpa menambah beban emisi yang besar. DME bisa berperan sebagai solusi sementara, sementara transisi energi diarahkan menuju diversifikasi sumber energi yang lebih bersih.
Dari sisi sosial, proyek DME memiliki potensi menciptakan lapangan kerja baru, terutama di wilayah tambang dan sekitar lokasi pabrik. Namun manfaat ekonomi lokal ini tetap harus diimbangi dengan kebijakan lingkungan yang tegas agar dampak negatif terhadap masyarakat sekitar dapat diminimalkan.
Hilirisasi batu bara menjadi DME menjanjikan dari sisi ketahanan energi dan pengurangan impor LPG, tetapi bukan solusi yang sepenuhnya bersih maupun ekonomis.
Secara teknis, DME bisa digunakan sebagai pengganti LPG dengan sedikit penyesuaian pada peralatan rumah tangga. Namun secara ekonomi, proyek ini hanya efisien jika pemerintah memberikan dukungan kebijakan dan menjaga harga batu bara domestik tetap stabil.
Dari sisi lingkungan, produksi DME berbasis batu bara berpotensi meningkatkan emisi karbon dan memperlambat transisi menuju energi bersih.
Keberhasilan program ini pada akhirnya akan bergantung pada kemampuan pemerintah menyeimbangkan tiga hal utama: kemandirian energi, daya saing ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa perencanaan yang matang, proyek DME bisa saja hanya menggantikan satu bentuk ketergantungan dengan bentuk ketergantungan lainnya.

0Komentar