Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (Flickr/Wikimedia Commons)

Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu kontroversi setelah mengklaim “keberhasilan” atas Hadiah Nobel Fisika 2025 yang diumumkan awal Oktober lalu. Melalui unggahan di platform Truth Social pada Kamis (30/10/2025), Trump menulis, “Trump 47 meraih Hadiah Nobel pertamanya!!”, meski penghargaan itu diberikan kepada tiga ilmuwan atas riset yang dilakukan jauh sebelum masa kepemimpinannya.

Peneliti 1980-an jadi pemenang

Hadiah Nobel Fisika 2025 diberikan kepada tiga fisikawan—John Clarke dari University of California, Berkeley; Michel H. Devoret dari Yale University; dan John M. Martinis dari University of California, Santa Barbara. 

Para ilmuwan Amerika Serikat yang memenangkan penghargaan Nobel Fisika 2025 (Foto: YouTube/The Nobel Prize)

Mereka dianugerahi penghargaan atas penelitian pada 1984–1985 di Lawrence Berkeley National Laboratory yang membuktikan fenomena mekanika kuantum pada skala makroskopik, tonggak penting bagi lahirnya komputasi kuantum modern.

Laporan resmi NobelPrize.org menegaskan bahwa temuan mereka menjadi fondasi bagi pengembangan teknologi kuantum yang kini banyak dimanfaatkan dalam sektor komputasi dan keamanan digital. Namun, dalam unggahan di media sosialnya, Trump menautkan pencapaian itu dengan program sains di masa pemerintahannya. 

“Komputasi kuantum, bersama AI dan fusi, adalah tiga upaya sains unggulan Trump,” tulis Menteri Energi saat itu, Chris Wright, mengutip narasi yang diulang Trump di berbagai kesempatan.

Faktanya, selama masa pemerintahannya, anggaran untuk penelitian ilmiah di AS justru mengalami pemangkasan signifikan. Berdasarkan laporan Yahoo News dan HuffPost, Laboratorium Berkeley, tempat penelitian ketiga ilmuwan dilakukan mengalami pengurangan staf hingga 20% akibat kebijakan efisiensi yang diterapkan Gedung Putih kala itu.

Kritik dari Gubernur California

Klaim Trump langsung menuai reaksi keras dari sejumlah tokoh politik. Gubernur California Gavin Newsom menyebut langkah itu “menyedihkan.”

“Presiden Amerika Serikat sangat kesal dengan kampanye gagalnya untuk Hadiah Nobel sehingga dia sekarang mencoba mengklaim hadiah orang lain sebagai miliknya,” tulis Newsom di akun X, dikutip dari HuffPost (31/10/2025).

Reaksi serupa muncul dari komunitas ilmiah. Banyak peneliti menilai klaim Trump tidak berdasar dan justru memperlihatkan jarak antara kebijakan pemerintahannya terhadap sains dengan capaian akademik yang ia coba kaitkan.

Pemenang Nobel angkat bicara

John Clarke, salah satu penerima Nobel tahun ini, menanggapi situasi itu dengan nada prihatin. Dalam wawancara dengan AFP yang dikutip The Daily Beast, Clarke menyebut kebijakan pemotongan anggaran riset di era Trump sebagai ancaman serius bagi masa depan sains Amerika.

“Pemecatan massal ilmuwan pemerintah dan pemotongan dana besar-besaran untuk penelitian adalah masalah yang sangat serius,” ujar Clarke. “Ini akan menjadi bencana jika terus berlanjut, dan mungkin butuh satu dekade untuk pulih.”

Clarke diketahui pernah mengkritik keputusan Gedung Putih pada 2018 yang memangkas dana untuk program riset energi dan fisika dasar. Ia menilai kebijakan tersebut melumpuhkan kapasitas riset nasional di sejumlah lembaga.

Obsesi lama terhadap Nobel

Trump bukan kali pertama dikaitkan dengan Hadiah Nobel. Sejak menjabat, ia kerap menyinggung bahwa dirinya “layak mendapatkan empat atau lima Nobel,” terutama untuk kategori Perdamaian. Ia juga kerap membandingkan dirinya dengan mantan Presiden Barack Obama yang meraih Nobel Perdamaian pada 2009.

Awal Oktober lalu, Komite Nobel di Oslo menganugerahkan Hadiah Nobel Perdamaian 2025 kepada pemimpin oposisi Venezuela, María Corina Machado, yang justru mendedikasikan penghargaannya kepada para pejuang demokrasi, termasuk, menurutnya, mereka yang berani menentang otoritarianisme di seluruh dunia, bukan kepada Trump secara langsung.

Meski begitu, unggahan Trump yang mencoba mengaitkan dirinya dengan penghargaan ilmiah tersebut memicu gelombang ejekan di media sosial.