![]() |
| Suasana rapat Pertemuan Tingkat Menteri APEC 2025 di Gyeongju, Korea Selatan. Para menteri perdagangan dan komersial membahas arah reformasi WTO. (Sumber: apec.org) |
Para menteri perdagangan dan komersial dari 21 ekonomi Asia-Pasifik menuntaskan pembahasan intensif di Gyeongju, Korea Selatan, pada Rabu (30/10/2025). Pertemuan itu menjadi momentum penting menjelang reformasi besar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang dijadwalkan dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-14 (MC14) di Kamerun pada Maret 2026.
Pertemuan Tingkat Menteri APEC ke-36 tersebut menyoroti tiga isu utama: modernisasi sistem perdagangan multilateral, transformasi digital, serta penguatan rantai pasok global yang tengah terguncang akibat ketegangan geopolitik dan meningkatnya proteksionisme.
Isu reformasi WTO menjadi fokus utama. Para menteri sepakat perlunya pembaruan aturan perdagangan global agar lebih relevan dengan tantangan ekonomi masa kini.
Menteri Luar Negeri Jepang, MOTEGI Toshimitsu, dalam pertemuannya dengan Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala, menegaskan komitmen negaranya untuk terus “memimpin reformasi WTO dan pembuatan aturan” bersama ekonomi APEC guna mencapai hasil konkret pada MC14 mendatang.
Sementara itu, Sekretaris Perdagangan Hong Kong, Algernon Yau, menekankan bahwa WTO perlu memperbarui bukan hanya substansi aturan, tapi juga mekanisme kerjanya.
“WTO harus memperbarui buku aturannya, agar lebih mampu memenuhi tuntutan ekonomi global saat ini,” ujar Yau di sela-sela pertemuan.
Kesepakatan para menteri APEC menegaskan bahwa penguatan sistem perdagangan multilateral tetap krusial, di tengah fragmentasi pasar dan tensi geopolitik yang menekan arus ekspor-impor global.
Fokus pada Inovasi Digital dan Ketahanan Rantai Pasok
Selain isu reformasi, pertemuan juga menyoroti pentingnya transformasi digital dalam menopang perdagangan global. Korea Selatan mengajukan “Inisiatif Rantai Pasok AI” untuk membantu negara berkembang dan pelaku usaha kecil-menengah meningkatkan kapabilitas kecerdasan buatan dalam logistik dan perdagangan lintas batas.
Menteri Perdagangan Korea Selatan, Yeo Han-koo, menyebut bahwa APEC saat ini merepresentasikan 61 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia dan 49 persen dari total perdagangan global.
“Peran forum ini sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan rantai pasok yang tengah terfragmentasi,” ujar Yeo seperti dikutip Yonhap News Agency.
Dari sisi implementasi, Hong Kong menjadi salah satu yang paling progresif. “Kami sudah menerapkan AI untuk memperlancar proses kepabeanan, mempercepat pengiriman kargo, dan mempermudah pencocokan kemitraan maskapai,” kata Yau dalam pernyataan resmi pemerintah Hong Kong.
Para menteri juga menegaskan pentingnya mempertahankan tarif nol untuk transmisi elektronik, demi mendukung ekosistem perdagangan digital yang efisien dan terbuka.
Menjelang akhir pertemuan, Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Cho Hyun, mengatakan para delegasi “sangat dekat” mencapai konsensus atas Deklarasi Gyeongju, dokumen hasil yang menjadi fondasi arah kebijakan perdagangan kawasan.
“Deklarasi ini butuh persetujuan bulat dari 21 anggota, tapi semangat kompromi sangat kuat,” ujar Cho, dikutip dari The Korea Herald.
Menurut laporan Yonhap News Agency, Selama pertemuan berlangsung, sejumlah agenda bilateral juga dilakukan di sela-sela sesi utama. Pejabat perdagangan Korea Selatan bertemu dengan mitra dari Indonesia, Thailand, Kanada, Selandia Baru, dan Hong Kong untuk menjajaki kerja sama di sektor industri pertahanan, mineral penting, dan teknologi maju.
Diskusi di Gyeongju ini menjadi bagian dari rangkaian menuju Pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC yang akan digelar pada 31 Oktober–1 November 2025, di mana hasil Deklarasi Gyeongju diperkirakan akan menjadi pijakan utama pembahasan tingkat kepala negara.

0Komentar