Indonesia menghadapi ketergantungan impor LPG yang kian tinggi akibat produksi domestik yang stagnan. Sepanjang 2024, impor LPG mencapai 6,9 juta ton senilai Rp61,5 triliun, membebani subsidi energi dan fiskal negara. (Getty Images)

Indonesia menghadapi dilema serius terkait ketergantungan impor Liquified Petroleum Gas (LPG) yang kian dalam sepanjang 2024. Berdasarkan data terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi LPG nasional mencapai rekor tertinggi 8,9 juta ton, sementara produksi dalam negeri justru stagnan di kisaran 1,96 juta ton. 

Akibatnya, Indonesia harus mengimpor 6,91 juta ton LPG senilai US$3,79 miliar atau sekitar Rp61,5 triliun. Angka itu membuat rasio ketergantungan impor melonjak hingga 77,64%.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkap penyebab utama mandeknya produksi LPG domestik terletak pada keterbatasan bahan baku. Ia menjelaskan, karakteristik gas alam Indonesia didominasi oleh metana (C1) dan etana (C2), bukan propana (C3) dan butana (C4) yang dibutuhkan untuk memproduksi LPG.

“Kenapa kita tidak bisa membangun industri LPG dalam negeri? Karena posisi gas kita itu kapasitas kualitasnya itu C1, C2, sementara untuk LPG itu C3, C4,” kata Bahlil, dikutip dari Antara (27/10/2025).

Selain faktor komposisi gas, minimnya fasilitas fraksinasi yang berfungsi memisahkan komponen gas juga menjadi kendala. Pembangunan fasilitas tersebut dinilai memerlukan biaya sangat besar, sehingga banyak kilang lebih memilih fokus pada ekspor Liquified Natural Gas (LNG) yang memberikan margin lebih tinggi.

Tingginya impor LPG tak hanya menekan neraca perdagangan energi, tapi juga memperberat beban fiskal negara. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah mengalokasikan Rp87 triliun untuk subsidi LPG 3 kilogram. Anggaran tersebut diproyeksikan naik menjadi Rp105,4 triliun pada 2026 seiring lonjakan konsumsi.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menuturkan, total belanja subsidi energi meningkat tajam dari Rp140,4 triliun pada 2021 menjadi Rp203,4 triliun dalam APBN 2025. 

“Subsidi LPG menyerap sekitar 42 sampai 45 persen dari total subsidi energi nasional,” ujarnya.

Komaidi menilai, tren kenaikan ini berpotensi terus berlanjut jika pemerintah tidak segera memperkuat pasokan energi alternatif di dalam negeri.

Untuk menekan ketergantungan impor, pemerintah menyiapkan dua langkah besar. 

Pertama, hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai pengganti LPG yang dijadwalkan mulai beroperasi pada 2026. Proyek ini ditargetkan mampu menekan impor LPG hingga 1 juta ton per tahun dan menghemat devisa sekitar Rp9,1 triliun.

“Proyek DME akan dieksekusi bertahap mulai awal 2026,” kata Bahlil. Gas DME disebut memiliki karakteristik serupa LPG dan bisa langsung digunakan untuk kebutuhan rumah tangga.

Kedua, PT Pertamina (Persero) menargetkan peningkatan produksi LPG domestik menjadi 2,6 juta ton melalui optimalisasi kilang serta ekstraksi komponen C3 dan C4 dari gas existing. Program jaringan gas (jargas) juga terus diperluas dengan target 4 juta sambungan rumah tangga.

Langkah tersebut, menurut laporan Global Energi (13/6/2025), berpotensi mengurangi impor LPG sekitar 400 ribu ton per tahun jika terealisasi sesuai rencana.

Upaya ini menunjukkan bahwa pemerintah tengah berpacu dengan waktu untuk memperkuat kemandirian energi nasional di tengah lonjakan konsumsi dan tekanan subsidi yang semakin besar.