![]() |
| Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memastikan rencana penerapan biodiesel B50 tidak akan mengganggu pasokan CPO di dalam negeri. (B-Universe/Joanito De Saojoao) |
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan rencana penerapan bahan bakar solar campuran biodiesel 50% atau B50 tak akan mengganggu pasokan minyak goreng di dalam negeri.
Memang pada dasarnya, biodiesel berasal dari pemanfaatan minyak sawit mentah (CPO), yang juga menjadi bahan utama dalam pembuatan minyak goreng.
Pemerintah menilai kebutuhan minyak sawit mentah (CPO) untuk program itu bisa dipenuhi dari produksi nasional, dengan cara menekan volume ekspor.
“Nggak ada isu itu. Ini kan persoalannya adalah kalau kita memakai B50, tinggal ekspor kita yang kita kurangi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujar Bahlil di sela Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Rencana mandatory B50 saat ini masih difinalisasi oleh pemerintah bersama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Keduanya sedang menyusun formulasi harga yang dianggap ideal agar tidak membebani industri maupun konsumen. Kementerian ESDM menargetkan program ini bisa diterapkan pada 2026, meski beberapa pejabat menilai pelaksanaan di Januari 2026 masih terlalu cepat karena butuh uji teknis tambahan.
Saat ini, Indonesia menjalankan program B40 dengan alokasi sekitar 15,6 juta kiloliter untuk 2025. Dari jumlah itu, 7,55 juta kl dialokasikan untuk sektor bersubsidi (PSO) dan 8,07 juta kl untuk non-PSO. Jika diterapkan, B50 diperkirakan akan membutuhkan 19–20 juta kiloliter bahan bakar nabati per tahun.
Konsumsi sawit untuk biodiesel selama Januari–Juli 2025 tercatat 7,23 juta ton, naik dari 6,44 juta ton pada periode sama tahun lalu. Sementara penggunaan sawit untuk pangan mencapai 5,77 juta ton, naik tipis dibanding 2024 yang sebesar 5,76 juta ton. Tahun ini ekspor biodiesel tercatat nihil, sedangkan tahun 2024 masih mencapai 73.000 ton.
Bahlil menyebut pemerintah tengah menyiapkan sejumlah langkah untuk menjaga keseimbangan pasokan, termasuk opsi Domestic Market Obligation (DMO) untuk CPO, peningkatan produktivitas kebun, hingga pembukaan lahan baru bila diperlukan.
“Kita akan lihat itu (DMO CPO) salah satu alternatif,” kata Bahlil.
Namun, kebijakan B50 tak sepenuhnya disambut positif. Perkumpulan Petani Sawit Indonesia (POPSI) menilai penerapan B50 berpotensi menekan pasokan bahan baku untuk industri pangan serta menimbulkan ketimpangan dalam pengelolaan dana BPDPKS.
“Kenaikan B50 akan mengganggu pasokan untuk industri pangan. Peningkatan campuran biodiesel hingga B50 akan meningkatkan serapan CPO di sektor energi, sehingga pasokan untuk industri pangan berkurang,” ujar Ketua Umum POPSI Mansuetus Darto kepada CNBC Indonesia, Senin (27/10/2025).
Ia menambahkan, keberadaan stok sawit saat ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menaikkan porsi biodiesel. Menurutnya, kapasitas produksi sawit nasional masih terbatas karena produktivitas kebun rata-rata baru 3 ton CPO per hektare per tahun, jauh di bawah potensi genetik yang bisa mencapai 8–10 ton.
“Masih adanya stok tidak bisa dijadikan alasan untuk menaikkan mandatory B50. Kalau konsumsi sawit untuk biodiesel terus dinaikkan, otomatis pasokan untuk industri minyak goreng dan pangan akan menipis,” ucap Darto.
POPSI juga mengingatkan bahwa peningkatan serapan CPO untuk energi akan mendorong kenaikan harga bahan baku minyak goreng.
“Harga CPO akan naik. Banyak produsen minyak goreng yang tidak punya kebun, jadi mereka harus beli CPO. Kalau harga naik, minyak goreng ikut terdorong,” kata Darto.
Selain itu, penggunaan dana BPDPKS yang selama ini 90% dialokasikan untuk subsidi biodiesel disebut makin memperkecil ruang bagi program pemberdayaan petani.
“Program replanting, sarana prasarana, dan penguatan SDM makin terpinggirkan kalau subsidi biodiesel terus ditambah,” ujarnya.
Pemerintah meyakini program B50 akan memperkuat ketahanan energi dan mengurangi impor bahan bakar fosil. Namun, di sisi lain, pelaku industri pangan dan petani sawit rakyat khawatir kebijakan itu akan menekan pasokan minyak goreng dan menaikkan harga di tingkat konsumen.
Sejumlah ekonom menilai tantangan terbesar pemerintah bukan hanya pada sisi produksi, tapi juga menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan pangan, agar dua sektor vital itu tidak saling berebut pasokan CPO.

0Komentar