Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan akan mencalonkan diri kembali di pemilu 2026. Ia juga menargetkan tercapainya kesepakatan normalisasi dengan Arab Saudi dan Indonesia. (AFP/Debbie Hill)

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memastikan akan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan parlemen 2026. Pengumuman itu disampaikannya pada Sabtu (18/10) dalam wawancara eksklusif dengan Channel 14, jaringan televisi sayap kanan Israel, di tengah meningkatnya dukungan publik setelah kesepakatan gencatan senjata terbaru di Gaza.

Langkah Netanyahu yang kini berusia 75 tahun itu datang saat sejumlah survei menunjukkan tren positif bagi partai Likud yang ia pimpin. 

Menurut jajak pendapat Times of Israel, jika pemilu diadakan hari ini, Likud diproyeksikan meraih 34 kursi — performa terbaik sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Koalisi Netanyahu disebut akan meraih 59 kursi, hanya satu kursi di bawah ambang mayoritas 60 kursi untuk membentuk pemerintahan.

Sementara itu, mantan Perdana Menteri Naftali Bennett, yang disebut-sebut sebagai pesaing utama Netanyahu, diperkirakan memperoleh 20 kursi. Blok oposisi, termasuk partai baru Bennett dan kubu anti-Netanyahu lainnya, akan mengantongi sekitar 53 kursi.

Menurut laporan Anadolu Agency, Netanyahu tengah mempertimbangkan untuk memajukan jadwal pemilu menjadi Juni 2026, lima bulan lebih cepat dari jadwal resmi di November. 

Sumber pemerintahan yang dikutip penyiar nasional KAN menyebut, langkah itu dimaksudkan untuk mengamankan momentum politik setelah gencatan senjata dan membuka peluang pencapaian diplomatik baru.

“Perdana menteri berharap bisa menandatangani kesepakatan normalisasi dengan Arab Saudi dan, bila memungkinkan, dengan Indonesia sebelum pemilihan,” tulis KAN dalam laporannya. 

Sumber media Israel menilai peluang kesepakatan dengan Arab Saudi “cukup realistis,” sementara dengan Indonesia masih “lemah.”

Netanyahu saat ini memimpin pemerintahan yang banyak dikritik sebagai koalisi paling sayap kanan dalam sejarah Israel. Ia telah menjabat lebih dari 18 tahun dalam beberapa periode sejak 1996, menjadikannya perdana menteri terlama dalam sejarah negara itu.

Masa jabatannya kali ini dimulai pada Desember 2022 dan diwarnai sejumlah kontroversi, mulai dari perombakan sistem peradilan yang memicu protes besar, hingga penanganan perang Gaza yang menimbulkan tekanan internasional. 

Meski begitu, lonjakan dukungan publik pascagencatan senjata terbaru dinilai memperkuat posisi politiknya menjelang pemilu mendatang.