Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Jerman, membentuk koalisi untuk menolak sistem pembayaran BRICS yang dinilai mengancam dominasi dolar AS. (Getty Images)


Presiden Amerika Serikat Donald Trump meningkatkan ketegangan dengan blok ekonomi BRICS pekan ini, dengan menyebut rencana pengembangan mata uang bersama kelompok tersebut sebagai “serangan terhadap dolar”. Pernyataan itu disampaikan Trump dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Argentina Javier Milei pada Selasa (14/10) waktu setempat di Washington, D.C.

Trump mengklaim bahwa ancaman tarif dari negara-negara Barat telah membuat sebagian anggota BRICS mengurungkan niat mereka untuk mendukung proyek mata uang bersama. 

“Saya mengatakan kepada siapa pun yang ingin berada di BRICS, itu tidak masalah, tetapi kami akan memberlakukan tarif pada negara Anda. Semua orang mundur. Mereka semua mundur dari BRICS,” ujar Trump, sebagaimana dikutip sejumlah media AS.

Namun hingga kini tidak ada negara anggota yang secara resmi menarik diri dari blok tersebut. Kremlin dengan cepat menanggapi pernyataan Trump. 

Juru bicara Presiden Rusia Dmitry Peskov menegaskan pada Rabu (15/10) bahwa BRICS “tidak pernah berusaha menyerang negara lain atau mata uang mereka,” dan menyebut komentar Trump “tidak berdasar secara faktual”.


Koalisi Barat tolak sistem pembayaran BRICS

Menurut laporan analisis ekonomi terbaru, setidaknya 11 negara Barat termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Jerman, Prancis, Kanada, Australia, Korea Selatan, Singapura, Swiss, dan Arab Saudi telah mengoordinasikan langkah untuk menolak inisiatif sistem pembayaran alternatif BRICS.

Negara-negara tersebut menilai pengembangan mata uang baru BRICS dan sistem pembayaran lintas batas mereka bisa mengancam dominasi dolar AS yang telah lama menjadi tulang punggung sistem keuangan global. 

Washington khawatir status dolar sebagai mata uang cadangan dunia dapat tergerus, sementara Inggris menyoroti potensi dampaknya terhadap stabilitas sektor keuangan London. 

Jepang di sisi lain mencemaskan bahwa mata uang BRICS yang disebut-sebut akan berbasis emas bisa mengacaukan pola perdagangan Asia.

Eropa pun menunjukkan kekhawatiran serupa. Jerman dan Prancis menilai proyek itu bisa melemahkan pengaruh finansial mereka, meski Uni Eropa memiliki euro sebagai mata uang cadangan global kedua setelah dolar.


BRICS lanjutkan pengembangan sistem alternatif

Terlepas dari tekanan dan penolakan itu, negara-negara anggota BRICS tetap melanjutkan rencana penguatan sistem keuangan alternatif mereka. 

Pada Oktober 2025, blok tersebut resmi meluncurkan bursa logam mulia yang memungkinkan transaksi internasional menggunakan emas, platinum, berlian, dan mineral tanah jarang tanpa bergantung pada sistem keuangan Barat.

Langkah itu melengkapi keberadaan Sistem Pembayaran Antarbank Lintas Batas China (CIPS), yang kini terhubung dengan hampir 5.000 lembaga keuangan di seluruh dunia. 

Sementara itu, proyek BRICS Pay—platform pembayaran digital antarnegara anggota masih dikembangkan dan ditargetkan beroperasi penuh pada akhir 2025 atau awal 2026.

Platform tersebut dirancang untuk memungkinkan transaksi lintas batas menggunakan mata uang nasional masing-masing negara tanpa melewati jaringan SWIFT yang selama ini dikuasai Barat.


Blok Ekonomi Raksasa

BRICS+ yang kini telah diperluas mencakup Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, serta anggota baru seperti Mesir, Iran, Ethiopia, Indonesia, dan Uni Emirat Arab. Secara kolektif, kelompok ini mewakili sekitar 46% populasi dunia dan 37% dari total produk domestik bruto (PDB) global.

Selain itu, negara-negara BRICS menguasai 72% cadangan mineral tanah jarang dan 40% produksi minyak global—posisi yang memberi pengaruh signifikan terhadap arah sistem ekonomi dunia ke depan.

“BRICS bukan alat untuk konfrontasi, tetapi wadah bagi negara-negara berkembang untuk memperkuat posisi mereka,” kata Peskov menegaskan, menepis tudingan bahwa kelompok tersebut sedang menantang dominasi dolar.

Sementara Gedung Putih belum memberikan tanggapan resmi atas pernyataan lanjutan Trump, sejumlah analis menilai sikap keras Trump itu mencerminkan meningkatnya kekhawatiran Washington terhadap pergeseran kekuatan ekonomi global yang semakin nyata.