![]() |
| Biaya perkara di pengadilan Indonesia masih tinggi, membatasi akses keadilan bagi warga miskin meski negara menjamin hak hukum bagi semua. (Unsplash) |
Bagi banyak warga Indonesia, mencari keadilan di pengadilan masih menjadi urusan yang mahal. Biaya perkara, mulai dari pendaftaran hingga eksekusi putusan, dapat mencapai jutaan rupiah — jumlah yang sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Meski negara menjamin hak setiap warga untuk mengakses hukum, kenyataan di lapangan sering kali jauh dari ideal. Tak sedikit orang akhirnya memilih jalan non-formal seperti musyawarah adat, atau bahkan menyelesaikan masalah sendiri, karena tak sanggup menanggung biaya proses hukum.
Tingginya biaya itu terutama terasa dalam perkara perdata. Sejak tahap pendaftaran, pengiriman surat panggilan, hingga pelaksanaan putusan, setiap langkah memerlukan biaya tambahan yang tak sedikit.
Di Pengadilan Negeri (PN), pendaftaran perkara perdata biasanya dikenai biaya Rp30.000 sampai Rp50.000. Namun itu baru permulaan. Biaya terbesar justru berasal dari panggilan dan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait.
Data dari beberapa PN menunjukkan, biaya panggilan tergugat bisa mencapai Rp150.000 per kali, dilakukan hingga empat kali dengan total sekitar Rp600.000. Ditambah panggilan untuk penggugat, pemberitahuan putusan, serta biaya administrasi lain, total biaya perkara dapat menembus jutaan rupiah.
Masalah struktural di balik biaya hukum
Tingginya biaya hukum di Indonesia tidak hanya soal angka, tapi juga soal struktur pendanaan peradilan.
Sebagian besar biaya perkara dikategorikan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Setiap pembayaran masuk ke kas negara. Sistem ini sering dikritik karena membuat layanan hukum terasa seperti layanan berbayar, bukan hak publik.
Selain itu, biaya eksekusi sering menjadi beban terbesar di tahap akhir. Eksekusi putusan memerlukan biaya keamanan dan logistik tambahan yang kadang mencapai jutaan rupiah. Banyak pihak akhirnya berhenti di tengah jalan karena tidak sanggup membayar.
Perbedaan antar kelas pengadilan
Biaya perkara juga berbeda antar kelas pengadilan. PN kelas I, yang biasanya berada di kota besar, menerapkan tarif lebih tinggi dibanding PN kelas II dan III di daerah.
Perbedaan ini terutama terlihat pada biaya panggilan dan eksekusi. Di PN kelas II seperti Wonosari, biaya panggilan berkisar Rp200.000 hingga Rp300.000 tergantung jarak domisili pihak yang dipanggil. Di kota besar, biayanya bisa lebih tinggi.
Kebijakan ini disesuaikan dengan kondisi wilayah dan kapasitas administratif, tetapi tetap menimbulkan ketimpangan. Warga di daerah dengan kelas pengadilan lebih tinggi menanggung beban biaya lebih besar.
Tingginya biaya hukum membawa dampak luas bagi masyarakat.
Pertama, banyak warga miskin enggan berperkara karena biaya tidak terjangkau. Sengketa kecil seperti warisan atau utang sering diselesaikan lewat musyawarah keluarga atau tokoh masyarakat.
Kedua, ketidakpastian hukum meningkat, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Penyelesaian sengketa yang mahal dan lama membuat banyak usaha enggan membawa perkara ke pengadilan.
Ketiga, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan ikut menurun. Banyak yang menilai hukum lebih berpihak pada mereka yang mampu membayar.
Upaya reformasi biaya hukum
Pemerintah telah menjalankan beberapa program untuk memperluas akses keadilan, salah satunya bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memberi hak bagi warga kurang mampu untuk berperkara tanpa biaya.
Namun pelaksanaannya belum merata. Banyak masyarakat belum mengetahui cara mengajukan perkara prodeo. Jumlah lembaga bantuan hukum juga belum cukup untuk melayani semua daerah.
Upaya digitalisasi seperti sistem e-court sebenarnya berpotensi menekan biaya, terutama untuk panggilan dan pemberitahuan. Beberapa pengadilan sudah menerapkannya, tapi belum menyeluruh karena keterbatasan infrastruktur di daerah.
Selain mahal, proses hukum di Indonesia juga cenderung memakan waktu lama.
Satu perkara bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun sebelum putusan final. Selama itu, pihak yang bersengketa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi, jasa pengacara, dan waktu yang hilang.
Prosedur administrasi yang berbelit menambah kesulitan. Banyak masyarakat awam hukum tidak paham alur pendaftaran dan jadwal sidang, sehingga bergantung pada kuasa hukum yang biayanya juga tinggi.

0Komentar