![]() |
| Wikimedia Commons |
Iran dikabarkan terus menghidupkan kembali kemampuan rudal balistiknya dengan mengimpor bahan kimia dalam jumlah besar dari Tiongkok, meski sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru saja diberlakukan ulang.
Data intelijen Eropa menunjukkan lebih dari 2.000 ton natrium perklorat bahan utama pembuatan bahan bakar roket padat telah dikirim ke Iran sejak akhir September 2025.
Pengiriman itu dilakukan melalui 10 hingga 12 kapal kargo dari berbagai pelabuhan di China menuju Bandar Abbas, Iran, hanya dua hari setelah mekanisme snapback PBB resmi mengaktifkan kembali sanksi yang melarang aktivitas dan perdagangan terkait rudal balistik.
Sejumlah kapal yang digunakan bahkan disebut menonaktifkan sistem pelacakan otomatisnya untuk mengaburkan jalur pelayaran.
“Sebanyak 2.000 ton natrium perklorat cukup untuk memproduksi sekitar 500 rudal,” ujar Jeffrey Lewis, Direktur Proyek Nonproliferasi Asia Timur di Middlebury Institute of International Studies, seperti dikutip CNN. “Iran sebelumnya menargetkan produksi sekitar 200 rudal per bulan sebelum perang. Sekarang mereka harus mengganti stok yang hancur dan yang digunakan dalam konflik,” tambahnya.
Beberapa kapal yang teridentifikasi, seperti MV Basht dan armada lain yang berafiliasi dengan Islamic Republic of Iran Shipping Lines (IRISL), disebut telah masuk dalam daftar sanksi Amerika Serikat. Badan intelijen Eropa menilai, pola pelayaran intensif antara China dan Iran ini menunjukkan adanya percepatan signifikan dalam program rekonstruksi militer Teheran.
Tiongkok disebut memanfaatkan celah dalam redaksi sanksi PBB untuk tetap menyalurkan bahan kimia tersebut. Dalam dokumen sanksi, amonium perklorat secara eksplisit dilarang karena digunakan langsung dalam bahan bakar roket. Namun, natrium perklorat prekursor yang bisa diubah menjadi amonium perklorat tidak secara spesifik tercantum dalam daftar terlarang.
Langkah ini memungkinkan perusahaan-perusahaan Tiongkok tetap mengklaim kepatuhan terhadap aturan internasional, meski produk mereka berpotensi mendukung pembangunan kembali kemampuan militer Iran.
Menanggapi laporan itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyampaikan kepada CNN bahwa Beijing secara konsisten menerapkan kontrol ekspor atas barang-barang penggunaan ganda sesuai kewajiban internasional, sekaligus menyebut pemberlakuan kembali sanksi snapback sebagai langkah yang tidak konstruktif.
China dan Rusia sebelumnya juga menolak langkah PBB yang memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran dan justru mendorong perpanjangan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) sebelum masa berlakunya berakhir pada 18 Oktober lalu.
Gelombang pengiriman bahan kimia ini muncul beberapa bulan setelah Iran mengalami kerugian besar dalam Perang 12 Hari melawan Israel pada Juni 2025. Saat itu, serangan udara Israel menghantam sejumlah fasilitas rudal Iran dan menargetkan sepertiga peluncur rudal permukaan-ke-permukaan milik negara tersebut.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kala itu menyebut bahwa Israel telah menghancurkan industri manufaktur rudal Iran serta menyerang puluhan pabrik rudal di berbagai lokasi strategis.
Data intelijen menunjukkan Iran memiliki sekitar 2.700 rudal sebelum konflik, namun kini diperkirakan hanya mempertahankan setengah dari jumlah itu.
Citra satelit yang dianalisis Associated Press (AP) juga memperlihatkan pembangunan kembali fasilitas produksi rudal di beberapa titik, meski peralatan penting seperti planetary mixer alat vital untuk memproduksi bahan bakar padat masih belum tersedia.
Sebelumnya, pada pertengahan Juni, Iran juga sempat menerima 1.000 ton natrium perklorat hanya beberapa pekan setelah ledakan di pelabuhan Bandar Abbas yang menewaskan sedikitnya 70 orang dan melukai ratusan lainnya akibat salah penanganan bahan kimia tersebut.

0Komentar