![]() |
| Kandungan etanol 3,5 persen dalam BBM Pertamina picu kontroversi. Indonesia tetap ikuti tren global penggunaan etanol untuk kurangi emisi karbon dan dorong transisi energi berkelanjutan. (SEVA.id) |
Kandungan etanol sebesar 3,5 persen dalam bahan bakar minyak (BBM) Pertamina memicu kontroversi setelah PT Vivo Energy Indonesia dan APR, joint venture BP-AKR, membatalkan pembelian base fuel tersebut. Peristiwa ini mencuat pada awal Oktober 2025 dan langsung menjadi sorotan karena menyangkut arah transisi energi Indonesia.
Pihak Pertamina menegaskan bahwa pencampuran etanol dalam BBM merupakan praktik internasional.
“Langkah ini sejalan dengan upaya global untuk menekan emisi karbon, meningkatkan kualitas udara, sekaligus mendukung transisi energi yang berkelanjutan,” ujar Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun, dalam keterangan tertulis pada 3 Oktober 2025.
Penggunaan etanol dalam BBM bukan hal baru di dunia. Amerika Serikat lewat program Renewable Fuel Standard (RFS) mewajibkan campuran etanol dengan kadar E10 hingga E85 untuk kendaraan fleksibel.
Brasil bahkan sudah puluhan tahun memakai campuran hingga E27 secara nasional. Di Eropa, standar E10 telah berlaku di Prancis, Jerman, dan Inggris, sementara India menargetkan E20 pada 2030.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, menyatakan bahwa etanol tidak berdampak buruk pada performa kendaraan.
“Etanol itu di internasional sudah banyak yang pakai sebenarnya. Jadi tidak mengganggu performa bahkan bagus dengan menggunakan etanol itu,” ujarnya dikutip dari CNBC Indonesia.
Di dalam negeri, dasar regulasi penggunaan bioetanol tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang memperbolehkan pencampuran hingga 20 persen dalam base fuel.
Pemerintah telah menetapkan target penggunaan bioetanol E10 pada 2029. Untuk menopang target itu, rencana pengembangan produksi bioetanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, dijadwalkan mulai 2027 (sumber Antara).
Etanol yang berasal dari tebu maupun jagung dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil.
“Dengan mencampurkan etanol ke dalam BBM, emisi gas buang kendaraan bisa berkurang sehingga kualitas udara lebih baik,” jelas Roberth.
Ahli bioenergi, Dr. Tatang, menilai kadar 3,5 persen etanol di Indonesia tergolong rendah. Ia membandingkan dengan Brasil yang sudah memakai minimal 20 persen, bahkan kendaraan fleksibel bisa memakai hingga 95 persen etanol.
Penggunaan etanol dalam BBM juga dikaitkan dengan target Net Zero Emission 2060 yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-80.
Pemerintah menempatkan bioetanol sebagai salah satu instrumen untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil sekaligus mendorong pencapaian target emisi nol bersih.

0Komentar