![]() |
| Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut manusia modern tidak berasal dari Afrika, melainkan dari Nusantara, lewat teori tandingan “Out of Nusantara”. (ANTARA FOTO/Fauzan) |
Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, memunculkan teori baru yang menantang pandangan ilmiah dunia soal asal-usul manusia modern.
Dalam pembukaan konferensi internasional UISPP Inter-Regional Conference 2025 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Selasa (28/10), ia menyebut bahwa persebaran manusia di muka bumi bukan berawal dari Afrika seperti teori Out of Africa, melainkan dari wilayah Nusantara.
“Manusia purba Nusantara bisa berekspansi melalui jalur laut, tak hanya berjalan menyusuri benua seperti yang selama ini didiskusikan dalam teori Out of Africa. Gagasan Out of Nusantara semakin kuat dengan bukti-bukti yang ada,” kata Fadli dalam sambutannya.
Teori yang ia ajukan itu, disebutnya berangkat dari berbagai temuan arkeologis di Indonesia yang dinilai memperlihatkan jejak peradaban manusia purba paling tua di dunia. Di antaranya fosil Homo erectus dari Bengawan Solo, lukisan gua di Leang Karampuang (Sulawesi Selatan), serta jejak Homo sapiens di Gua Lida Ajer (Sumatra Barat).
Fadli menilai, temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba di Nusantara telah memiliki kemampuan tinggi dalam bertahan hidup, beradaptasi, dan bahkan berperadaban.
“Manusia purba di kawasan yang kini disebut Indonesia ini sudah mampu bercerita, melakukan pemakaman dengan hormat, punya teknologi logam, memetakan ruang sakral, dan mengarungi lautan,” ujarnya.
Fadli memaparkan sejumlah bukti pendukung yang ia sebut memperkuat teori “Out of Nusantara”.
Salah satunya adalah fosil Homo erectus atau Manusia Jawa yang ditemukan Eugene Dubois di Trinil, Bengawan Solo. Fosil yang sempat disimpan di Belanda selama puluhan tahun itu baru saja dipulangkan ke Indonesia pada September 2025.
“Ini bagian dari restorasi keadilan sejarah dan kedaulatan budaya,” kata Fadli.
Selain itu, ia menyoroti lukisan gua tertua di dunia di Leang Karampuang, Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, yang berusia sekitar 51.200 tahun. Lukisan tersebut menggambarkan hewan, figur manusia, hingga perahu yang disebutnya sebagai bukti kemampuan bercerita visual manusia purba sekaligus tradisi maritim awal.
“Lukisan ini menggambarkan hewan, figur manusia, interaksi antartokoh, bahkan gambar perahu-perahu yang menunjukkan kemampuan bercerita visual lebih dari 51 milenium lalu,” ujarnya di hadapan peserta dari 40 negara.
Jejak lain yang disebut memperkuat teori ini datang dari Gua Lida Ajer, Sumatra Barat, yang menunjukkan keberadaan Homo sapiens lebih dari 60.000 tahun lalu.
Menurut Fadli, temuan tersebut membuktikan bahwa manusia modern sudah mampu hidup di ekosistem hutan hujan tropis, bukan hanya di sabana terbuka seperti yang diyakini selama ini.
Di Gua Harimau, Sumatra Selatan, para arkeolog juga menemukan bukti kesinambungan budaya sejak 22.000 tahun lalu, termasuk tembikar, alat tulang, logam tembaga, perunggu, dan besi awal dari abad ke-4 SM hingga abad ke-1 M.
Temuan serupa juga ada di bentang karst Sangkulirang–Mangkalihat, Kalimantan Timur, serta Gua Liang Kobori di Muna, Sulawesi Tenggara, yang menampilkan lukisan perburuan dan aktivitas maritim.
“Ini menunjukkan bahwa manusia awal di Nusantara sudah dapat mengarungi lautan dan sudah memiliki tradisi maritim. Lukisan-lukisan purba ini menunjukkan memori visual dunia maritim Austronesia yang nantinya turut membentuk identitas kepulauan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik,” tutur Fadli.
Pernyataan itu disampaikan dalam rangkaian UISPP Inter-Regional Conference 2025 bertema “Asian Prehistory Today: Bridging Science, Heritage and Development” yang digelar pada 27 Oktober–6 November 2025. Kegiatan ini berlangsung di tiga lokasi: UKSW Salatiga, Museum Manusia Purba Sangiran, dan Museum Ullen Sentalu Yogyakarta.
Konferensi yang diikuti peneliti dari 40 negara ini menghadirkan simposium, pameran, serta kunjungan lapangan ke situs-situs prasejarah Indonesia. Situs resmi penyelenggara menyebut, acara ini menjadi ajang pertukaran riset dan kerja sama internasional dalam bidang arkeologi dan warisan budaya.
Dalam sambutannya, Fadli juga menekankan bahwa Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 1.340 suku bangsa dan 718 bahasa, sekitar 10 persen dari total warisan linguistik dunia.
Ia menyebut keberagaman itu sebagai salah satu alasan kuat mengapa Nusantara layak disebut sebagai “arsip peradaban tertua umat manusia.”

0Komentar