![]() |
| Dok. Government of Canada |
Kelompok Tujuh (G7) resmi mengumumkan pembentukan aliansi produksi mineral kritis dalam pertemuan Menteri Energi dan Lingkungan di Toronto, Kanada, Jumat (31/10). Langkah ini disebut sebagai upaya paling nyata negara-negara demokrasi industri untuk mengurangi ketergantungan terhadap dominasi China dalam pasokan bahan baku vital bagi teknologi modern dan industri pertahanan.
Menteri Energi Kanada Tim Hodgson menyebut pengumuman tersebut sebagai momen penting bagi stabilitas rantai pasok global.
“Yang akan Anda amati pada hari Jumat adalah serangkaian pengumuman nyata yang menggambarkan efektivitas pendekatan kolaboratif untuk mengamankan rantai pasokan dan sumber daya energi,” ujarnya dalam konferensi pers menjelang deklarasi itu, dikutip dari The Globe and Mail (28/10).
Aliansi ini menjadi respons langsung atas dominasi China yang selama ini menguasai sekitar 60 persen pertambangan mineral kritis dunia dan hampir 90 persen pemrosesan global, termasuk unsur tanah jarang (rare earth elements), komponen utama dalam pembuatan mobil listrik, turbin angin, hingga sistem pertahanan canggih.
Dalam kesepakatan tersebut, G7 akan menerapkan sejumlah mekanisme seperti offtake agreement, dukungan harga, dan kesepakatan penimbunan stok untuk menjamin pasokan bagi industri manufaktur canggih di dalam blok negara-negara anggota.
Langkah ini muncul bersamaan dengan kesepakatan terpisah yang dicapai di Korea Selatan pada Kamis (30/10), di mana Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui penundaan selama satu tahun terhadap pembatasan ekspor bahan tanah jarang oleh Beijing.
Dominasi China disebut meluas tidak hanya pada ekstraksi mentah, tetapi juga pada proses lanjutan. Menurut data Center for Strategic and International Studies (CSIS), Beijing mengendalikan 95 persen produksi magnet tanah jarang dunia dan menjadi satu-satunya produsen magnet khusus yang digunakan di kendaraan listrik dan peralatan pertahanan.
Abigail Hunter, Direktur Eksekutif Center for Critical Minerals Strategy di Washington, menilai langkah G7 ini sudah mendesak dilakukan.
“Selama beberapa dekade, kita menghadapi pesaing yang secara konsisten mendistorsi pasar bebas, menggunakan subsidi industri, menciptakan kelebihan kapasitas, dan merusak perdagangan yang adil,” katanya dikutip dari Yahoo News (31/10).
Selain menjamin pasokan, aliansi ini juga berfokus pada pembentukan sistem ketertelusuran (traceability system) untuk memastikan bahan mentah yang digunakan sesuai aturan pasar global dan bebas dari intervensi negara.
G7 akan menerapkan kebijakan transparansi baru guna “menyingkirkan” perusahaan-perusahaan yang dikendalikan Beijing dari rantai pasok strategis.
Hunter menjelaskan, Perusahaan yang tidak transparan dan terhubung dengan kepentingan negara asing perlu dikeluarkan dari sistem perdagangan global agar pasar tetap adil dan kompetitif.
Langkah G7 ini datang di tengah meningkatnya ketegangan dagang dengan China, terutama setelah Beijing memperluas kontrol ekspor pada 9 Oktober lalu. Aturan baru tersebut mencakup 12 dari 17 elemen tanah jarang serta memperkenalkan mekanisme foreign direct product rule yang mewajibkan izin ekspor untuk produk yang mengandung jejak bahan asal China. Regulasi itu akan berlaku efektif mulai 1 Desember.
Kepala Divisi Mineral Kritis Badan Energi Internasional (IEA), Tae-Yoon Kim, memperingatkan bahwa konsentrasi produksi di satu negara dapat menimbulkan risiko ekonomi dan keamanan nasional yang setara dengan krisis minyak 1970-an.
“Konsentrasi tinggi pemurnian mineral kritis di satu negara menciptakan risiko sistemik yang nyata,” ujarnya dikutip dari Al Jazeera (21/10).
Para analis menilai, meski aliansi G7 ini menjadi sinyal kuat terhadap upaya diversifikasi pasokan global, mengurangi dominasi China di sektor mineral kritis bukanlah pekerjaan instan. Proses ini diperkirakan membutuhkan komitmen jangka panjang setidaknya satu dekade ke depan.

0Komentar