Pengaruh IMF, PBB, dan ASEAN membentuk arah kebijakan ekonomi Indonesia sejak krisis 1997, dari reformasi fiskal hingga peran diplomasi regional. (AFP)

Krisis 1998 mestinya menjadi pelajaran bahwa menyerahkan kendali ekonomi sepenuhnya kepada kekuatan luar hanya akan membuat Indonesia kian rapuh. Namun seperempat abad setelah negeri ini bertekuk lutut di hadapan IMF, pengaruh lembaga internasional itu bersama PBB dan ASEAN masih menempel kuat dalam kebijakan ekonomi Indonesia.

Pertanyaan yang terus muncul adalah apakah keterlibatan mereka memperkuat Indonesia atau justru membatasi kedaulatan kita.


IMF pahit tetapi menjerat

Tidak ada cerita ekonomi Indonesia yang lebih dramatis ketimbang 1997 hingga 1998. Rupiah rontok, bank-bank kolaps, inflasi meroket. Pemerintah akhirnya meminta bantuan IMF yang datang membawa paket pinjaman besar.

Pinjaman itu disertai syarat panjang. Bank-bank bermasalah harus ditutup, subsidi dipangkas, pintu ekonomi dibuka selebar-lebarnya untuk investor asing.

Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan, pernah berkata, “Reformasi yang dipaksa IMF memang menyakitkan, tapi itu untuk memulihkan kepercayaan investor.”

Hasilnya memang ganda. Investor kembali, tetapi rakyat menanggung ongkos mahal. Subsidi pupuk dipangkas, harga barang melonjak, pengangguran meluas. Industri strategis seperti IPTN tersungkur karena tak lagi disokong. 

IMF bahkan menunda pencairan dana ketika pemerintah lambat menjalankan resep mereka sehingga krisis semakin dalam.

Indonesia sudah melunasi utang IMF pada 2003. Namun pengaruh lembaga itu belum hilang. Rekomendasi IMF tentang inflasi, defisit, hingga nilai tukar tetap menjadi rujukan. IMF mungkin tidak lagi menodongkan resep, tetapi suaranya masih bergema di ruang rapat Kementerian Keuangan.


PBB janji besar hasil berlapis

Jika IMF hadir dengan wajah keras, PBB tampil lebih lunak dengan agenda pembangunan berkelanjutan, hak asasi manusia, dan kemanusiaan.

Sejak 1950 Indonesia menjadi anggota aktif. Badan-badan PBB seperti UNICEF, UNDP, dan WFP hadir di pelosok negeri membawa program pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, hingga perubahan iklim.

“PBB mendukung Indonesia agar pembangunan tidak hanya terfokus di pusat, tapi juga merata di daerah,” kata Valerie Julliand, Koordinator Residen PBB di Indonesia.

Dampaknya terlihat pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. Layanan pendidikan dan kesehatan di berbagai daerah membaik. Program di Sulawesi Selatan misalnya menunjukkan bagaimana pendampingan PBB mempercepat peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Namun janji besar PBB seringkali tidak mendarat mulus. Bantuan teknis memang hadir, tetapi tidak jarang berakhir sebagai laporan setebal ratusan halaman yang berdebu di meja birokrat. 

Agenda global seperti SDGs dan transisi energi kerap terasa lebih cocok sebagai jargon diplomasi ketimbang kebutuhan rakyat di desa.

Di sisi lain keanggotaan di PBB memberi panggung internasional. Indonesia pernah duduk di Dewan Keamanan PBB, ikut merumuskan resolusi konflik global, dan memainkan peran diplomasi multilateral. Simbolik memang, tetapi tetap penting untuk menegaskan posisi Indonesia di panggung dunia.


ASEAN rumah yang penuh kompromi

Berbeda dengan IMF dan PBB, ASEAN adalah rumah regional. Indonesia ikut mendirikannya pada 1967 dan sejak awal menjadi motor penggerak. Dengan ekonomi terbesar, Jakarta berkali-kali mendorong agar sentralitas ASEAN terjaga di tengah tarik-menarik Amerika dan Tiongkok.

Komunitas Ekonomi ASEAN adalah proyek besar yang bertujuan menciptakan pasar tunggal dengan aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja. 

Presiden-presiden Indonesia dari SBY hingga Jokowi mendorong integrasi ini dengan harapan daya saing kawasan meningkat.

Namun ASEAN bukan tanpa masalah. Prinsip konsensus membuat organisasi ini sering mandek. Krisis Myanmar misalnya hanya menghasilkan pernyataan bersama tanpa gigi. 

Integrasi ekonomi berarti Indonesia juga harus menyesuaikan diri dengan aturan bersama yang kadang membatasi fleksibilitas kebijakan domestik.

ASEAN memang membuka peluang perdagangan dan investasi, tetapi kompromi terus-menerus membuat Indonesia sering harus mengorbankan kepentingan jangka pendek demi citra sebagai pemimpin kawasan.


Ruang fiskal yang makin sempit

Di luar tiga lembaga itu, dinamika global juga ikut mengatur napas fiskal Indonesia. Pandemi COVID-19 memaksa pemerintah meningkatkan belanja kesehatan dan bantuan sosial sehingga defisit melebar.

Pemerintah kemudian harus meyakinkan pasar global dengan janji disiplin fiskal. Joseph Donovan, analis internasional, menyebut, “Indonesia harus punya ruang fiskal fleksibel, tapi jangan sampai terjebak pada ketergantungan utang luar negeri.”

Tarif impor, krisis energi, dan fluktuasi harga pangan semuanya bisa menggerus penerimaan negara. Dengan keterikatan pada lembaga internasional dan gejolak global, ruang gerak fiskal Indonesia semakin sempit.


Antara kebutuhan dan harga diri

IMF, PBB, dan ASEAN menghadirkan tiga wajah berbeda dari keterlibatan global yang telah membentuk kebijakan dan ekonomi Indonesia selama puluhan tahun.

Indonesia memang tidak bisa berdiri sendiri. Pasar membutuhkan kepastian, pembangunan perlu sokongan, diplomasi membutuhkan forum. Tetapi terlalu bergantung sama saja dengan menyerahkan kunci rumah kepada orang lain.

Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional, mengingatkan, “Keterlibatan aktif itu perlu, tapi keputusan akhir harus berangkat dari kepentingan nasional.”

Apluswire percaya Indonesia harus belajar dari masa lalu. IMF memberi pelajaran pahit tentang utang dan syarat, PBB mengajarkan arti komitmen global, ASEAN menekankan pentingnya kompromi regional. Semuanya berguna sepanjang Indonesia tahu kapan harus berkata ya, dan kapan harus berkata tidak.

Karena pada akhirnya hanya bangsa yang berani berdiri di atas kakinya sendiri yang bisa benar-benar merdeka.