Pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa 1998 menjadi momentum penting yang mempercepat lengsernya Presiden Soeharto. (buku.kemdikbud.go.id)

Ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung MPR/DPR RI pada 18 Mei 1998. Aksi ini menjadi momentum penting yang mempercepat jatuhnya Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, di tengah krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik yang melanda Indonesia.

Menurut catatan sejumlah media, kelompok pertama yang memasuki kompleks parlemen adalah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Sekitar 50 mahasiswa yang dipimpin FKSMJ berhasil masuk ke dalam gedung pada pukul 11.30 WIB.

Nusron Wahid, yang kala itu menjadi pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, mengenang betapa mudahnya mereka menembus barikade. 

“Gerbang terbuka. Kami tidak dihadang saat masuk,” ujarnya dalam wawancara dengan Majalah Tempo.

Seiring siang berganti sore, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta dan kota lain menyusul memasuki kompleks DPR/MPR. Mereka mendirikan posko, membentangkan spanduk, dan menggelar mimbar bebas di halaman serta ruang sidang paripurna.

Bagi sebagian masyarakat, pemandangan itu terasa mengharukan. 

"Saya masih ingat bagaimana saya menangis melihat para mahasiswa dengan jaket-jaket mereka duduk di atap gedung Senayan, meski saya hanya menonton di televisi," kata Nyonya Chotidjah Rahman, seorang ibu rumah tangga di Pasar Minggu.


Kenapa DPR, bukan Istana?

Keputusan mahasiswa untuk menduduki Gedung DPR/MPR bukan tanpa perdebatan. Masinton Pasaribu, yang saat itu ikut dalam aksi, mengenang adanya dua opsi sasaran: Istana Negara atau DPR/MPR.

Beberapa mahasiswa mendorong aksi langsung ke Istana, tetapi ada yang menilai gedung parlemen lebih mudah dimasuki karena konsentrasi aparat keamanan terpusat di sekitar Istana. Pertimbangan lain adalah risiko jatuhnya korban jiwa. 

“Kami masih ingat dengan jelas Tragedi Tiananmen, di mana protes mahasiswa di China mendapat respons keras dari militer. Maka, pilihan terbaik adalah Gedung DPR karena lebih mudah dijangkau,” kata Masinton, dikutip dari Kompas.

Pendudukan DPR kemudian menjadi simbol keberhasilan gerakan mahasiswa. Masinton menyebut aksi itu sebagai pernyataan politik. 

"Legitimasi pemilu 1997 yang mengangkat Soeharto kembali sebagai presiden tidak sah di mata kami. Maka, kami merasa sah untuk menduduki Gedung DPR/MPR," tegasnya.


Tuntutan reformasi dan sikap DPR

Di gedung parlemen, mahasiswa menyuarakan tuntutan reformasi berupa pengunduran diri Soeharto, pencabutan dwifungsi ABRI, pemberantasan korupsi, serta penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil.

DPR yang sebelumnya dianggap hanya sebagai stempel politik pemerintah, untuk pertama kalinya menunjukkan sikap berbeda. Pada malam 18 Mei, Ketua DPR/MPR Harmoko menyampaikan pernyataan yang mengejutkan. 

“Demi persatuan dan kesatuan bangsa, kami mengharapkan agar Presiden Soeharto, dengan bijaksana, mengundurkan diri,” katanya, seperti dilaporkan Merdeka.

Pernyataan itu memberi tekanan politik yang signifikan, mengingat Harmoko dikenal sebagai loyalis Soeharto dan lama menjadi bagian dari lingkaran Orde Baru.

Pendudukan DPR tidak bisa dipisahkan dari tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, ketika empat mahasiswa ditembak mati oleh aparat saat berdemonstrasi di Jakarta. 

Tragedi itu memicu kerusuhan sosial besar pada 13–15 Mei yang menewaskan lebih dari 1.000 orang menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta.

Kerusuhan disertai penjarahan dan pembakaran membuat situasi Jakarta lumpuh. Di sisi lain, tekanan internasional terhadap pemerintah Soeharto kian berat. Investor asing menarik modalnya, sementara nilai tukar rupiah terus melemah hingga menyentuh Rp 15.000 per dolar AS.

Krisis ekonomi yang menjalar menjadi krisis politik membuat posisi Soeharto semakin rapuh.


Pengunduran diri Soeharto

Gelombang tekanan akhirnya berujung pada pengumuman pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998. Dalam pidato singkat di Istana Merdeka, ia menyatakan menyerahkan jabatan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.

Pengumuman itu disambut sorak sorai mahasiswa yang masih berada di kompleks DPR/MPR. Mereka merayakan momen itu sebagai simbol kemenangan rakyat atas rezim yang telah berkuasa lebih dari tiga dekade.

Masinton Pasaribu menilai pendudukan DPR menjadi momen simbolik atas kedaulatan rakyat. 

“Pendudukan itu menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, bukan pada penguasa yang memperpanjang kekuasaannya lewat pemilu yang cacat legitimasi,” ujarnya.

Namun, transisi pasca-Soeharto tidak serta-merta menjawab semua tuntutan. Pemerintahan Habibie menghadapi tantangan besar, mulai dari reformasi politik, stabilisasi ekonomi, hingga penegakan hukum atas pelanggaran HAM.


Warisan reformasi

Lebih dari dua dekade kemudian, pendudukan Gedung DPR/MPR pada Mei 1998 tetap dikenang sebagai tonggak reformasi. Banyak agenda reformasi memang terealisasi, seperti penghapusan dwifungsi ABRI, lahirnya pemilu multipartai, serta berkembangnya kebebasan pers.

Namun, sejumlah masalah seperti korupsi, kekerasan aparat, dan ketimpangan ekonomi masih membayangi.

Bagi banyak aktivis 1998, aksi menduduki DPR bukan sekadar strategi politik, melainkan pernyataan bahwa perubahan bisa dimulai dari keberanian sipil. 

Nusron Wahid mengingat kembali bagaimana mudahnya mahasiswa memasuki gedung parlemen. Sementara bagi publik seperti Chotidjah Rahman, momen itu tak terlupakan karena menunjukkan betapa suara mahasiswa bisa mengguncang kekuasaan.

Pendudukan Gedung MPR/DPR RI oleh mahasiswa 1998 bukan hanya aksi massa, melainkan momentum yang mengubah arah sejarah Indonesia. 

Dari sana, transisi menuju reformasi dimulai, meski jalan panjang demokratisasi masih menghadapi banyak tantangan.

Bagi generasi berikutnya, Mei 1998 tetap menjadi pengingat bahwa suara mahasiswa dan rakyat bisa menjadi kekuatan penentu dalam menentukan arah politik bangsa.