![]() |
| Penghapusan tunjangan rumah DPR menurunkan gaji bersih jadi Rp65 juta. Publik menilai langkah ini hanya gestur politik tanpa reformasi nyata. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wpa) |
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengumumkan langkah besar, atau tepatnya langkah yang dipasarkan sebagai “besar”. Mulai 31 Agustus 2025, para legislator resmi tidak lagi menerima tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan.
Akibatnya, take home pay mereka kini “hanya” sekitar Rp65,5 juta per bulan. Angka ini diklaim sebagai bentuk komitmen DPR merespons tuntutan publik.
Apakah rakyat harus menyalakan kembang api karena DPR “rela” kehilangan separuh tunjangan mewahnya? Mari kita bedah dengan lebih jernih.
Tunjangan Dipangkas, Privilege Bertahan
Penghapusan tunjangan rumah memang membuat gaji kotor anggota DPR turun dari kisaran Rp104 juta menjadi Rp74 juta. Setelah pajak, gaji bersih sekitar Rp65,5 juta. Komposisinya pun unik. Gaji pokok hanya Rp4,2 juta, sementara sisanya berasal dari tunjangan dan honorarium, misalnya tunjangan kehormatan Rp7,1 juta, biaya komunikasi intensif Rp20 juta, serta tiga honorarium fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan masing-masing Rp8,4 juta.
Artinya, penghasilan utama legislator bukan dari gaji pokok, melainkan dari tunjangan yang jumlahnya jauh lebih besar. Maka, meski satu komponen besar dihapus, tumpukan privilege lain tetap utuh.
Belum lagi fasilitas lain yang masih mereka nikmati. Ada tunjangan reses, biaya kunjungan kerja ke dapil, tunjangan aspirasi, dan berbagai honorarium tambahan. Dengan kata lain, langkah ini lebih mirip mengorbankan sepotong kecil kue, sementara loyang utamanya tetap aman di meja makan DPR.
Jika dihitung, ada 580 anggota DPR periode 2024–2029. Dengan dihapusnya tunjangan Rp50 juta per orang per bulan, negara “berhemat” sekitar Rp29 miliar setiap bulan atau Rp348 miliar per tahun. Angka ini memang besar dalam skala rumah tangga. Tapi di level APBN yang menembus Rp3.400 triliun, penghematan itu hanya setara 0,01 persen.
Dalam logika politik, ini lebih cocok disebut gestur simbolis ketimbang reformasi struktural. Apalagi, banyak tuntutan publik yang jauh lebih substansial belum dipenuhi, seperti audit independen atas kekerasan aparat, pembenahan skema pensiun DPR, dan transparansi anggaran.
Empat, Enam, atau Berapa Poin
DPR mengumumkan keputusan ini sebagai bagian dari respons terhadap “17+8” tuntutan masyarakat. Namun, angka yang muncul di publik membingungkan.
Beberapa media menyebut DPR baru memenuhi empat tuntutan. Ada juga yang melaporkan enam keputusan, di antaranya menghapus tunjangan rumah, moratorium kunjungan kerja luar negeri, pengurangan fasilitas tertentu, dan penataan administrasi.
Apapun hitungannya, substansinya sama. Yang dipenuhi sejauh ini hanya menyentuh kulit luar, belum menyentuh inti persoalan. Publik menuntut perubahan struktural, tapi DPR menjawab dengan kosmetik birokratis.
Membandingkan Kesenjangan 12 Kali Lipat UMP Jakarta
Mari bicara angka konkret. UMP Jakarta 2025 ditetapkan Rp5,39 juta. Jadi gaji bersih seorang legislator setara 12 kali upah minimum di ibu kota. Kalau dibandingkan dengan UMP Jawa Tengah Rp2,1 jutaan, maka perbandingannya melonjak ke 30 kali lipat.
Data BPS terbaru menyebut rata-rata upah pekerja Indonesia sekitar Rp2,8–3 juta per bulan. Dibandingkan gaji DPR, selisihnya mencapai hampir 22 kali lipat.
Maka wajar jika warga menyebut gaji DPR “kebangetan”. Seorang warga Depok berkomentar, “Kalau dibandingkan dengan UMR kita, jauh banget. Jadi walaupun ada penghapusan tunjangan rumah, tetap saja gaji mereka masih tinggi banget.”
Nur Aisyah dari Bekasi menimpali, “Kalau Rp65 juta per bulan, apakah bikin rakyat percaya? Belum tentu.”
Kritik serupa bergema dari Citayam, Semarang, hingga kampus-kampus. Gaji sebesar itu di tengah krisis harga pangan dan sulitnya akses kesehatan membuat DPR tampak hidup di dunia paralel, jauh dari realitas mayoritas rakyat.
Hak Pensiun Privilege yang Tak Tersentuh
Lebih ironis lagi, pemangkasan tunjangan rumah tidak menyentuh hak pensiun. Berdasarkan PP No.75/2000, anggota DPR yang menjabat dua periode berhak atas pensiun seumur hidup sekitar Rp3,6 juta per bulan.
Angka ini memang tampak kecil jika dibandingkan dengan gaji aktif mereka. Tapi tetap sebuah anomali.
Mengapa jabatan lima atau sepuluh tahun bisa menghasilkan tunjangan pensiun seumur hidup, sementara jutaan buruh dan pekerja harus menabung sendiri untuk hari tua dengan BPJS Ketenagakerjaan yang jauh lebih minim?
Tradisi Gestur Kosmetik
Sejarah politik Indonesia penuh dengan langkah-langkah simbolis yang tidak menyentuh akar masalah. Di era Orde Baru, jargon “pengabdian kepada rakyat” kerap digunakan untuk menutupi privilese pejabat.
Dua puluh lima tahun setelah reformasi, pola serupa kembali terlihat. Keputusan kosmetik dijual sebagai “komitmen mendengar rakyat”.
Dalam praktiknya, DPR baru bergerak setelah aksi massa menekan keras. Itupun sebatas memberi konsesi kecil yang tidak mengganggu kenyamanan hidup mereka. Seolah-olah dengan kehilangan Rp50 juta per bulan, para legislator sudah berkorban besar, padahal mereka masih tetap berada jauh di atas mayoritas rakyat secara ekonomi.
Penghapusan tunjangan rumah jelas bukan sesuatu yang tidak penting. Tapi menyebutnya bukti keberpihakan DPR kepada rakyat terlalu berlebihan. Apalagi ketika tuntutan utama seperti transparansi anggaran, audit kekerasan aparat, dan reformasi sistem pensiun masih diabaikan.
Maka yang kita saksikan hanyalah pencitraan diskon besar-besaran. Harga privilege DPR dipangkas, tapi barangnya tetap barang mewah yang mustahil terbeli rakyat kebanyakan.
Kalau DPR sungguh serius, yang harus dipangkas bukan hanya tunjangan rumah, tapi juga ego politik dan jarak sosial dengan warganya. Tanpa itu, angka Rp65 juta per bulan hanyalah pengingat bahwa para legislator hidup di orbit ekonomi lain, jauh di atas bumi tempat rakyatnya berjuang setiap hari.
Pemangkasan tunjangan rumah DPR mungkin terdengar seperti pengorbanan. Tapi bagi rakyat, itu tidak lebih dari sekadar menonton pejabat kaya berhenti membeli dessert mahal, sementara mereka sendiri masih kesulitan membeli beras.
Disclaimer: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis. Isi dan sudut pandang yang disajikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial atau pandangan Apluswire.com.

0Komentar