Status Machu Picchu terancam dicabut dari daftar Tujuh Keajaiban Dunia akibat protes, salah kelola pariwisata, dan konflik sosial yang melumpuhkan akses. (Wikimedia Commons)

Situs arkeologi Machu Picchu di Peru menghadapi ancaman serius terhadap statusnya sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Baru. Yayasan New7Wonders yang berbasis di Swiss mengeluarkan peringatan resmi pada 13 September lalu, menyebut pariwisata massal yang tak terkendali, konflik sosial, hingga buruknya pengelolaan sebagai alasan mempertimbangkan ulang gelar yang telah disandang benteng kuno Inca itu sejak 2007.

Peringatan tersebut menjadi yang pertama bagi Machu Picchu sejak ditetapkan sebagai keajaiban dunia modern, dan tidak diberikan kepada situs lain mana pun dalam daftar tersebut. 

“Praktik penjualan tiket yang tidak teratur, kenaikan harga, layanan transportasi yang buruk, serta konflik sosial yang terus berlanjut menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian dan pengelolaan situs,” tulis New7Wonders dalam pernyataan resminya, dikutip dari Intellinews.

Peringatan ini muncul bersamaan dengan eskalasi protes yang melumpuhkan akses menuju Machu Picchu. Sedikitnya 900 wisatawan terjebak di kota Aguas Calientes hingga Selasa (16/9), setelah operator kereta PeruRail menangguhkan layanan akibat rel kereta diblokir demonstran dengan batu-batu besar.

Menurut Menteri Pariwisata Peru Desilu Leon, sekitar 1.400 wisatawan telah berhasil dievakuasi sehari sebelumnya. 

“Kami berupaya keras memulangkan semua wisatawan dengan aman, namun ratusan orang masih tertahan akibat situasi yang belum sepenuhnya kondusif,” ujarnya dalam konferensi pers, dikutip dari CNN.

Aksi protes dipicu oleh berakhirnya konsesi 30 tahun perusahaan Consettur sebagai pengelola layanan bus dari Aguas Calientes ke pintu masuk situs. 

Pemerintah daerah Cusco kemudian menunjuk San Antonio de Torontoy sebagai operator sementara, keputusan yang memicu kemarahan warga lokal yang menuntut proses seleksi lebih transparan. Mereka berargumen bahwa peluang bisnis dari pariwisata seharusnya juga dapat dinikmati oleh komunitas setempat.

Gangguan ini telah berdampak luas pada sektor pariwisata dan ekonomi Peru. Kamar Dagang Cusco memperkirakan kerugian mencapai US$15,8 juta hanya sepanjang 2025 akibat pembatalan perjalanan dan penurunan permintaan. 

Setiap hari kerusuhan, wilayah tersebut kehilangan pendapatan sekitar US$3 juta, dengan laporan pembatalan paket wisata mencapai 15%.

Efek jangka panjangnya lebih mengkhawatirkan. Menurut Asosiasi Operator Pariwisata Masuk Peru, sejumlah pasar utama seperti Eropa, Asia, dan Amerika Utara mulai menghapus Peru dari daftar destinasi mereka. 

Jika status “Keajaiban Dunia” benar-benar dicabut, jumlah wisatawan yang datang bisa turun hingga sepertiga, setara lebih dari US$1 miliar per tahun.

Meski tekanan meningkat, pemerintah Peru merespons santai peringatan dari New7Wonders. Kementerian Kebudayaan Peru menegaskan melalui media sosial bahwa UNESCO adalah “satu-satunya badan berwenang” dalam urusan pelestarian warisan budaya dunia. 

Mereka juga menekankan bahwa Machu Picchu belum masuk dalam daftar “Warisan Dunia dalam Bahaya” milik UNESCO.

Namun, status sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Baru selama hampir dua dekade telah menjadi elemen penting dalam promosi pariwisata Peru. Kehilangan gelar tersebut dapat mengurangi daya tarik Machu Picchu di mata wisatawan global.

Terlepas dari krisis ini, jumlah wisatawan justru diperkirakan melonjak. Menteri Kebudayaan Fabricio Valencia menyebut jumlah pengunjung ke Machu Picchu bisa melampaui 1,5 juta orang pada 2025, memecahkan rekor sebelum pandemi. 

Angka tersebut melonjak tajam dibanding sekitar 400.000 pengunjung pada paruh pertama 2007 menjadi hampir 860.000 pada periode yang sama tahun ini.

Lonjakan itu memunculkan kekhawatiran baru soal overtourism dan tantangan pelestarian, yang kini menjadi ujian terbesar bagi masa depan situs peninggalan peradaban Inca tersebut.